Rembulan ini menggangguku. Mengingatkanku akan senyuman darimu. Memelukku dengan tulus, menempatkanku pada hirarki tanpa lawan.
Sajak-sajak darimu masih Aku ingat, dengan sentuhan bibirmu yang berbisik, Aku temukan jawaban dari segala pertanyaan.
Aku pun tak ragu, menoleh ke wajahmu yang bersandar di bahuku, dan koneksi lahiriah tercipta di antara kita. Lalu Kau dekatkan wajahmu, mencium pipiku yang lusuh kering.
"Dengarlah, sayang. Suara kicauan bintang, seolah merestui kedekatan kita. Terangnya rembulan seakan memberi tanda, betapa bahagianya dia menyaksikan kita bersama."
Aku pun tersenyum, ketika Kau selesaikan urusan di pipiku. Dan Aku membalas, mengecup bibirmu yang lucu, mengirimkan sinyal kebulatan batin ini.
Betapa indah Engkau di mataku, pujaan. Betapa inginku segera mengajakmu untuk menua berdua.
"Na ni na ni na ni na nina nana. Na ni na ni na ni na nina nana......", Kau menyair tiba-tiba, membuat jantungku seakan berhenti bekerja. Lembutnya tanganmu terasa kian hangat, manisku. Ketika Kau kembali melabuhkan pipi kirimu di pundakku.
Berdua, bersama dengan bintang dan rembulan, Aku harap tragedi ini akan selalu Kau simpan, walau suatu saat nanti Aku akan menghilang, bahkan musnah dari peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H