Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Merayakan Kematian Sebuah Hati

13 September 2020   10:33 Diperbarui: 13 September 2020   10:38 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luxury lawalliance/peekyou.com

Lihatlah, himpunan pohon itu berdiri tegak, berkumpul tertib menyaksikan pentas seni kita berdua. Dedaunannya melambai-lambai, memvisualkan senyuman getir yang ditujukan kepada kita. Mereka menyaksikan bagaimana kita saling mengisi, saling memuja, saling menjaga. Mereka juga menyaksikan kita yang berselisih paham, berdebat tiada ujung menyambut petaka, yang akhirnya memisakan kau dan Aku. Berpisah untuk selamanya.

Burung-burung tak lagi berkicau, dedaunan tak lagi ramah menyapa. Hanya gersang, kering lesu lapuk termakan drama fantasiana. Udara yang tak lagi lembab, awan yang kian jauh meninggalkan kisah kita.

Bagaimana Aku menjelaskannya, sayang? Rasanya cucuran air mata tak berarti, yang malah semakin membuatmu memperdalam jurang jarak antara kita. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nanti setelah ini, bertahan dengan rasa lara dan kecewa, maju dengan ambisi baru, atau justru mundur ke belakang melalui cara bunuh diri.

Bayangku terbang, hilang. Mimpiku pergi dan belum kembali. Ditambah dengan engkau, manisku, yang memutuskan untuk melupakanku selamanya. Tak aku duga akan sepahit ini, setelah kita bersama-sama menyusun puzzle kemenangan, menciptakan singgasana nyaman ketika rambut kita mulai beruban. 

Menyadarinya pun Aku tak mampu. Lantas, bagaimana agar Aku bisa bertahan di dalam badai jahanam? Sedang cahayamu semakin samar Aku ikuti. Cahaya yang dulu selalu menuntunku untuk terus berjuang, menikmati setiap getir per detak jantung yang bekerja. Cahaya yang selalu menguatkanku ketika Aku lelah selelah-lelahnya.

Tempat ini masih sama, sayangku. Tapi memorinya mulai pudar, himpunan kembang mawar yang biasa kita saksikan juga mulai layu. Tak ada lagi serbuk keharuman, tak ada lagi kumbang, tak ada lagi keindahan.

Kembalilah! Dengarlah suara hati yang meronta memintamu untuk kembali. Berdua, bersama menyelesaikan misi yang belum selesai. Berdua, bersama membuktikan betapa kuatnya ikatan batin kau dan Aku. Berdua, bersama-sama menyaksikan kembang mawar yang mulai berseri kembali.

Datanglah. Kenali lagi kisah-kisah yang hampir musnah, susun lagi puzzle yang hampir sempurna. Alam bawah sadarku berteriak, tak hentinya memintamu untuk kembali bersama-sama berjuang, meresmikan gubuk ternyaman yang akan menjadi sejarah peradaban milik kita berdua.

Hari ini adalah hari yang Aku sejarahkan. Hari di mana Aku mengingatmu kembali. Hari di mana Aku meronta kesakitan tanpamu. Hari di mana Aku terus berjuang meminta ampunanmu. Dan ketika semua usahaku sia-sia, akan Aku peringati hari itu sebagai hari perayaan kematian sebuah hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun