Kesakralanmu hanya sesaat, layaknya kumandangan adzan yang diikuti sholat. Orang-orang hanyut saat itu, membaur bersama dengan khidmat. Menyelami sisi tersuci dari sebuah sejarah. Tak ada pikiran lain selain engkau, Indonesia.
Bergetar seluruh bibir! Bergetar seluruh raga! Berdiri rambut-rambut kecil mereka! Betapa dahsyatnya kesakralanmu, wahai merah putih? Namun sayangnya hanya sesaat.
Ketika takbir telah selesai, berjabat tangan dan juga berdo'a selesai, mereka kembali pada kehidupannya yang asli. Miris, betapa nafsu telah mendustakan cahaya seterang bintang! Yang dengan teganya menghanguskan do'a pengampunan.
Kini tragedi masih berlangsung, di mana banyak orang berceloteh tentang cinta negara, bersikap tunduk terhadap Sumpah Pemuda! Namun ketika masa sakral itu telah usai, mereka lanjut saling bertikai.
Merampas. Membunuh. Memperkosa. Menindas. Semua kekejian itu akan kembali menyata ketika nyanyian Sang Saka telah usai. Dan jiwa-jiwa yang fana itu, melupa secepat kilat, bahwa dalam kesakralan sejenak tadi, mereka sudah berjanji untuk saling mengasihi, bersatu, dan berdiri di kaki sendiri.
Entah, akan sampai kapan banyak orang mengkhianati bait-bait suci, yang selalu dinyanyikan setahun sekali.