Sayangku, pecahan berkeping ini sudah Aku susun kembali. Pecahan demi pecahan, Aku rekatkan demi hidupnya jalinan kasih yang t'lah lama padam.
Lihatlah, walau retakan masih nampak jelas, tapi Aku percaya pada kekuatan Yang Tak Terduga. Menyatukan dua dimensi yang sudah lama ingin bersama. Menyatukan dua logika yang dipisah oleh dogma Agama.
Andai saja mereka tahu, betapa tak ternilai ikatan yang kita jalin selama ini. Andai saja mereka tahu, betapa damainya dunia yang tersugesti oleh kita. Semua tentang kita. Semua tentang energi yang kita bawa. Semua tentang yang kita beri.
Manisku, sungguh Aku begitu merindukanmu, hidup kembali bersemayam dalam luka yang paling kejam. Menyongsong pedang untuk mereka yang seperti setan. Melukaiku, meludahiku, dan mengobrak-abrik air mataku. Berdiri tegak di sampingku, jadi dermaga bagi sirahku yang teramat kosong.
Sajak-sajak liar kini sudah mulai tumbuh, mengakar dan semakin lebat sejak kepergianmu. Membuat matahari tak ada nyali. Membuat bulan bertekuk lutut kepadaku. Hawa dingin nan lembab ini sebagai bukti, betapa hancurnya hidupku sejak kematianmu.
Biarlah sihir, mantra-mantra, menjadi dirimu yang baru. Yang akan melindungiku. Yang akan menemaniku. Seperti yang Kamu lakukan dulu.
Biarlah puluhan beringin menjadi tembok penghalang, sebagai bukti betapa murkanya diriku atas tragedi yang sangat memilukan. Tragedi tentang Kamu. Tentang darahmu yang mengucur deras. Tentang jeritanmu yang tak mereka hiraukan. Dan tentang kepalamu yang dipenggal.
Selamat Hari Puisi Nasional. "Duka Kelam Sang Legenda", by Hara Nirankara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H