Pada esai saya yang dulu membahas Arteria Dahlan, saya menyinggung masalah anger management atau kontrol emosi yang tidak dikuasai oleh AD. Sebenarnya bukan hanya Arteria yang kesulitan mengontrol emosi, banyak orang di seluruh dunia juga mengalami hal yang sama.Â
Namun pada esai kali ini saya akan membahas kontrol emosi dalam masyarakat Indonesia, dan, bagaimana bisa ketidak-mampuan dalam mengontrol emosi itu justru menjadi identitas bangsa Indonesia.
Goleman (1997) mendefinisikan anger management sebagai kemampuan untuk mengatur perasaan, menenagkan diri, melepaskan diri dari kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan dengan tujuan untuk keseimbangan emosi.Â
Secara umum, anger management adalah suatu tindakan untuk mengatur pikiran, perasaan, nafsu, amarah, Â dengan cara yang tepat dan positif serta dapat diterima secara sosial, sehingga dapat mencegah sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Setidaknya ada dua aspek yang mempengaruhi emosi, yaitu keluarga dan lingkungan sosial.
Tentu sudah bukan hal yang tabu lagi, banyak orangtua yang memarahi anaknya karena hal yang sepele. Para orangtua gampang sekali marah karena kenakalan anaknya, bahkan banyak di antara orangtua yang melakukan kekerasan secara fisik kepada anak mereka karena hal yang sepele.Â
Masalah kenakalan anak, sebagai orangtua seharusnya jangan memberikan reaksi yang berlebihan seperti memukul atau menendang, karena sejatinya, kenakalan anak berbeda dengan kenakalan orang dewasa.Â
Anak kecil belum paham apakah yang mereka lakukan tepat atau tidak, benar atau salah. Peringatan yang pas kepada anak haruslah berupa lisan, tetapi jangan sampai membentak karena anak-anak alam bawah sadarnya masih kuat dan hal itu akan berdampak jangka panjang dalam kehidupan mereka.Â
Para orangtua yang merasa anaknya "nakal" harus bisa menciptakan sebuah diskusi, obrolan santai, sehingga anak bukan hanya diberikan peringatan tetapi juga problem sloving.Â
Hal seperti diskusi yang dibiasakan sejak dini akan berpengaruh terhadap mental serta daya berpikir anak pada masa yang akan datang. Jangan sampai karena hal yang sepele, anak mengalami trauma pada memori mereka karena mendapatkan kekerasan verbal atau non verbal.
Aspek lingkungan sosial juga sering kita temui, misalnya dalam hal bertetangga. Pada aspek kali ini saya akan memberi contoh dari Ibu saya sendiri yang tidak bisa mengontrol emosi karena perbuatan yang dilakukan oleh tetangga saya. Ceritanya waktu Ibu saya sehabis pulang dari pasar guna kebutuhan bisnis kuliner, setibanya di depan rumah, Ibu saya langsung emosi mendapati lumpur saluran irigasi yang berada tepat di depan gerbang rumah saya.Â
Sontak saja, Ibu saya langsung memarahi tetangga saya yang biasa membersihkan saluran irigasi dan memindahkan lumpur irigasi yang ada di depan rumahnya ke depan rumah saya.Â