Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang-Orang Di Sudut Pembuangan

23 November 2019   19:28 Diperbarui: 23 November 2019   19:47 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam. Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu.” Chairil Anwar.

Pada suatu masa, entah gelap entah terang, di sudut lorong-lorong nan kotor itu tersembunyi beribu bahasa. Tertuang manis dalam lembar-lemar khayal, tertimbun jutaan kubik pengharapan. Mimpi seseorang satu per satu menjadi nyata, dan teriringlah tawa segenap suka cita dalam setiap langkah yang mereka bawa. Manis, buah yang manis begitu mempesona hingga aku tak sabar menunggu keajaiban.

Esoknya datang lagi beberapa orang, kembali di sudut bersama rasa yang mereka bawa. Di sebelah sana ada yang menarik, kiranya ingin aku dekati dengan menawarkan segelas kopi pahit. “Untukmu, kawanku.”, tapi seloroh ia berkata “Aku tidak butuh kopi. Aku butuh teman.” dan aku ulurkan tanganku yang bergegas menjabat tangannya. “Aku temanmu. Aku akan sangat sedih jika kehilanganmu.”, sontak mata sipitnya berkaca-kaca, seolah aku adalah orang yang dijanjikan oleh Tuhan.

Orang bermata sipit itu menyambutku dengan tawa yang polos, seakan aku ini bukanlah orang jahat. Tapi memang, terkadang aku ingin sekali menjadi jahat, namun nurani selalu memberontak. “Bicaralah kawanku, telinga ini sudah tidak sabar mendengar semua ceritamu.”, lalu aku duduk di samping kaca-kaca yang pecah, ku seruput kopi pahit yang tadinya aku tawarkan padanya.

Aku pikir dunia ini teramat munafik dengan manusianya yang kejam pula, orang bermata sipit itu terus meneteskan air mata sepanjang ia bercerita. Sungguh malang, pemuda lugu yang baik hati harus tersakiti oleh omongan-omongan setan, yang menganggapnya berbeda hanya karena berkulit putih sedikit kekuningan. Aku bisikan kata-kata nakal padanya yang datang dari salah seorang perempuan bernama Windhi Puspitadewi, “Burung itu memang tidak akan lari, tapi burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi. Dan manusia tanpa mimpi, sudah bukan manusia lagi.” seraya matanya sipitnya tiba-tiba membesar, diringi dengan senyum kecil tapi sangat legi. “Tapi apakah segelintir manusia seperti bisa mereka terima?”, ujarnya yang masih terlihat bahagia. Tak akan ada orang yang menolak sebuah kemajuan, sekiranya itulah kalimat yang aku tujukan padanya.

“Mungkin benar kamu terlahir berbeda, tapi banyak juga yang sama dengan mereka tapi mendapatkan perlakuan sepertimu.”. Memang pada kenyataannya begitulah manusia, yang sama dengan mereka saja dicaci, apalagi yang berbeda? Tapi tenang, kawanku. Dunia ini diciptakan bukan untuk mereka yang tidak bisa apa-apa, dunia ini diciptakan untuk mereka yang bersedia berkarya, memberikan sesuatu yang tanpa disadari sangat dibutuhkan. Dunia ini tak menyediakan panggung untuk para pendusta.

Tidak ada mimpi yang mustahil untuk dicapai, selagi raga masih setia berusaha. Keringat darah banyak dikorbankan, tak sedikit manusia yang mati dalam perjuangan. Manisku, lihatlah ke langit luas, di sana terdapat banyak bintang yang mempesona, terang memancar hingga membius alam bawah sadar. Coba pilih salah satu bintang, jangan kau ambil, cukup amati saja. Lama kelamaan pancaran sinar bintang itu akan memberikanmu setetes asa, yang bila kau sanggup dapatkan, akan memberikan triliunan ide untuk merubah dunia. Tapi setan setahuku suka kepada orang beruang kosong, maka sekiranya berpikirlah sembari mengamati bintang.

“Memangnya apa yang ingin kau tunjukkan, kawanku?”, kemudian orang bermata sipit itu berkata, ia ingin sekali semua manusia tersadar, bahwa sesuatu yang berbeda tidak pantas untuk dijatuhkan. Suatu saat ia ingin sekali bangkit dan menampar mulut-mulut setan di luar sana, tapi dengan sebuah karya serta dedikasi yang ia berikan.

Aku sendiri sering berkata, “Suatu saat kita akan menghilang satu per satu, musnah satu per satu, dan terlahir kembali satu per satu. Teruslah melangkah kawanku, tak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa.”. Ya, di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin diraih, termasuk dari orang-orang di sudut pembuangan seperti bermata sipit yang satu ini. Dan semoga kelak semesta merestui, walau entah kapan kemenangan itu akan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun