Dalam tulisan kali saya tidak akan membahas Jokowi dan Prabowo, karena bagi saya, politik memang teramat rumit, sukar untuk dipahami, dan terkadang kenyataannya di luar prediksi. Tapi yang akan saya bahas masih ada hubungannya dengan mereka. Saya akan menyebut pendukung Jokowi dan Prabowo dengan sebutan Buzzer.
Sampai saat ini saya masih ingat, waktu itu dimulai pada awal tahun 2016. Saya yang memang gemar menulis artikel pada saat itu didekati oleh Buzzer Prabowo untuk ikut berjuang (katanya) untuk keadilan. Kebetulan saat itu kasus Ahok masih menjadi perbincangan yang panas sehingga menimbulkan demo berjilid-jilid.Â
Awalnya saya tidak tahu kalau Buzzer Prabowo ingin memanfaatkan pemikiran saya untuk mempengaruhi opini publik. Namun lambat laun, saya mulai sadar kalau saya sedang dimanfaatkan oleh mereka yang nantinya akan mengerucut pada kampanye Anies Baswedan pada PilGub Jakarta.
Kesadaran saya semakin nampak jelas ketika ada salah satu Buzzer Prabowo yang meminta saya untuk dicarikan massa guna demo di depan gedung DPR/MPR. Awalnya saya respek dengan tuntutan yang dibawa oleh mereka, yang salah satunya mengenai nasionalisasi Freeport. Tetapi, perlahan saya mulai sadar jika tujuan utama dari demo itu bukan perihal yang saya sebutkan barusan, tetapi untuk menuntut agar Ahok dipenjara.
Saya yang kaget dan merasa marah, akhirnya berbalik menyerang mereka. Mereka (Buzzer Prabowo) juga menyerang saya secara serentak, tetapi saya tidak gentar karena saya memegang 'kartu as' mereka.Â
Proxy war pun dimulai saat itu antara saya (sendirian) dengan Buzzer Prabowo. Sedangkan Buzzer Jokowi yang saat itu mengetahui perseteruan saya dengan Buzzer Prabowo, perlahan mendekati saya untuk bergabung dengan kelompok mereka.Â
Saya yang dari awal tidak ingin terlibat ke dalam politik, saat itu berkata kepada Eric (salah satu Buzzer Jokowi) dan menjelaskan tentang pendirian saya. Kemudian Eric memaksa saya untuk bergabung dengan kelompok mereka via whatsapp, dan bergabunglah saya dengan mereka.Â
Saat berada di grup, saya iseng melihat siapa saja anggota yang tergabung, dan, saya sendiri kaget ketika ada salah satu Aktris bernama C***y S***n yang ikut bergabung di dalam grup itu.
Perlahan saya mengendus niatan mereka untuk memanfaatkan saya, dan sebelum semuanya terlanjur basah, akhirnya saya memutuskan untuk leave dari grup itu.
Pengalaman saya selama berada di grup dua Buzzer itu, saya melihat pola, mekanisme, dan tujuan yang sama. Mereka sama-sama membuat konten, disebarluaskan, yang bertujuan untuk melawan musuh mereka dan membuat citra idola mereka seperti sosok Satrio Piningit.
Buzzer Jokowi dan Buzzer Prabowo selama PilGub DKI Jakarta hingga PilPres 2019 selalu bertarung, saling menjatuhkan, saling mengintimidasi secara virtual. Mereka sama-sama berseteru, sama-sama melontarkan umpatan, pokoknya mereka saling merendahkan satu sama lain. Mereka juga gemar memproduksi konten hoax yang kemudian disebarkan di semua platform media sosial.
Tapi lihatlah kini, Jokowi dan Prabowo sama-sama berada di pemerintahan, Jokowi merangkul Prabowo menjadi Menteri Pertahanan dan tawaran itu diterima dengan baik oleh Prabowo Subianto.
Inti dari tulisan ini sebenarnya teramat sederhana. Rasanya sudah teramat sering saya katakan kalau tidak ada gunanya menjadi fanatik, untuk apa memperjuangkan mati-matian idola kalian? Sedang pada akhirnya mereka duduk bersama di pemerintahan. Saya teramat miris melihat banyak orang awam yang sok paham tentang politik, tapi nyatanya wawasan mereka NOL.
Sudah banyak kasus yang terjadi dunia nyata, ketika bapak dan anak berbeda pilihan politik, mereka saling mendebat, akibatnya? Hubungan mereka tidak lagi harmonis. Begitu juga yang terjadi dengan teman sepergaulan, hanya karena berbeda pilihan politik, hubungan pertemanan mereka putus, tidak ada lagi silaturahmi di antara mereka.Â
Mereka yang merasa mempunyai pilihan yang sama, memilih untuk berteman dengan orang lain di media sosial, padahal? Mereka tidak pernah bertatap muka, belum saling mengenal satu sama lain, belum paham bagaimana sifat, karakter, dan watak satu sama lain.
Hal di atas sungguh sangat disayangkan, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai miliar jiwa, tapi sumber daya manusianya kalah bersaing dengan negara lain hanya karena beda pilihan politik, beda aliran dalam agama, beda pemahaman mengenai sistem pemerintahan. Mereka semua saling mencaci, saling membenci, saling membungkam, seolah hidup ini sepanas yang ada di media sosial.Â
Narasi-narasi kosong nan semu terus saja diperdagangkan guna memenuhi syahwat politik antar golongan. Dan lihatlah sekarang, apa yang telah kalian semua lakukan sejak tahun 2015 hingga 2019 ternyata menghasilkan keadaan yang berbalik dengan keinginan kalian. Dan inilah yang dinamakan dengan politik, tidak ada musuh abadi dan kawan yang setia.
Buzzer in memoriam, cepat membaiklah kalian semua yang dulu begitu bangga dengan pilihan masing-masing, cepat sembuhlah logika kalian yang telah rusak oleh karena sikap fanatik terhadap idola kalian. Dan jangan lupa, mari budayakan membaca, berliterasi. Perluas lagi wawasan kalian mengenai politik, sehingga jika suatu saat nanti kalian merasakan 'De Javu', setidaknya kalian bisa berpikir, merasakan, bahwa mengulangi sejarah yang sama tidaklah berguna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H