Akan ada masa di mana mentari tak lagi bersinar, langit gelap gulita, angin tak lagi bersahabat. Semuanya hancur, porak-poranda ditelan kejamnya jaman. Banyak orang lari sempoyongan, lari kencang hingga mendahului satu sama lain. Ya, mereka lari dan terus berlari. Mencari tempat untuk bersembunyi.Â
Mencari tempat untuk menormalkan detak jantung. Mencari tempat untuk menghela nafas panjang. Dan sesekali memejamkan mata, keringat bercucuran membasahi jasad makhluk fana.
Aku melihat mereka menjerit. Aku melihat mereka menangis. Aku melihat mereka memohon. Dan aku dengar mereka meminta belas kasih Sang Tuhan. Tapi sayangnya Tuhan tuli. Tuhan buta. Tuhan. Bisu. Tuhan tak bisa melakukan apapun.
Alam sudah murka. Manusia mengkhianati janji sucinya. Alam murka, marah, hingga jejeran gunung berapi mengeluarkan senjatanya. Angin tak kalah ganas. Angin menerbangkan seisi gemerlap dunia. Bahkan petir menggelegar, melihat kacaunya tatanan kehidupan. Sedang Sang Bumi? Ia menggoncangkan seluruh permukaan, hingga terpental-pental manusia dibuatnya.
Kenapa harus lari? Kenapa harus bersembunyi? Kenapa tak dihadapi saja segala konsekuensi atas keserakahan manusia? Untuk apa terus menghindar, bila akhirnya harus kalah, mati, dan musnah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H