Demi Andromeda di Bima Sakti, aku sudah tidak sanggup menahan perasaan ini. Ombak pasang terus menyerang, gebuk-gebuk palung kediaman naluri. Bayangmu selalu datang, hinggap dan menepi, menemani scuil ruang di tabir dimensi.
Engkau selalu datang, wajahmu mengenang di setiap denyut nadi ini. Manis, indah, damai, sekiranya itu yang selalu tergambar ketika kau hinggap bagai kumbang. Menyongsong harap kemilau merpati, yang suaranya nyaring, kepakannya melankolis.
Sesekali aku ingin menjamu, bersua bersama aromamu yang mewangi. Mendekapmu bagai surga yang dirindukan, nafas indah yang selalu aku impikan.
Bila saja gelap itu tidak ada, aku membayangkan betapa senangnya hatiku. Bertemu denganmu, bermain denganmu, bermanja denganmu, tak ada batasan waktu yang memisahkan kau dan aku, tak ada batasan waktu yang memisahkan perasaanku terhadapmu.
Tapi nyatanya gelap itu ada, bersemayam di gubuk Penguasa alam semesta, yang akhirnya membuatku menyerah, dan berakhir dengan memimpikanmu sebelum mata ini terpejam lelap. Andai aku ini abadi, ingin rasanya aku menjagamu, menghiburmu, hingga kau benar-benar hilang dan tergantikan oleh sesuatu yang baru.
Ku pejamkan sayu asa. Ku benamkan rasa semu di dada. Berharap suatu saat Tuhan akan mengambilnya, dan membuangnya sejauh yang Ia bisa. Mungkin badan ini masih kuat melawan waktu. Tapi hati ini tak akan mampu untuk melawan rasa yang terlanjur tercipta untukmu. Bergores perih ketika aku ingat, bahwa kamu itu bukan milikku.
Semoga suatu saat kamu dapat mendengar, mengabadikan rontaan jiwaku yang teramat terluka. Menuliskannya hingga sejarah baru tercipta, dan tak akan pernah terulang di suatu masa yang entah kapan datangnya.
Paska Senja, abadilah kau dalam ketiadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H