Embun turun menebar manis. Tiap-tiap insan terlelap dalam fantasi. Ada orang yang setiap harinya berdzkir memohon ampun. Ada pula yang masih setia di meja judi. Memang beginilah manusia, primata yang paling unggul, yang paling superior. Makhluk fana yang selalu mengedepankan nafsu ketimbang akal. Dan perkara nafsu itulah yang membuat beberapa orang sepertiku, yang selalu terjebak ke dalam fatamorgana. Yang tiada pernah berakhir walau nyawa dipersembahkan.Â
Aku selalu terheran kenapa rindu pasti hadir di setiap aku ingin memehamkan mata. Rasa rindu yang tiap menit makin menggunung, tapi tak pernah berani aku sampaikan.
Beberapa orang sepertiku terjebak ke dalam pergulatan, dimana aku harus memilih satu dari dua pilihan yang sama-sama benar. Tapi jika aku memaksakan untuk memilih. Salah satu di antara yang benar itu akan tersakiti. Dan perlahan akan meninggalkanku. Hingga tibalah propaganda penyesalan.
Aku sering memandangi bias. Berada di ruang hampa yang tak seorang pun tahu. Terdiam, melamun, serta merindu. Tapi rindu itu hanya sebatas rindu. Tak akan pernah berarti apapun. Karena aku sengaja meluapkannya pada ruang hampa. Bertebaran. Melayang bebas tanpa arah tujuan. Sudah seharusnya seperti itu. Sebab, aku tak ingin kehilangan salah satu di antara keduanya.
Banyak orang mengeluh. Menyalahkan diri sendiri ketika tak kuasa menahan nafsu. Aku sendiri beberapa kali menyalahkan diriku sendiri, kenapa aku harus membiarkan perasaan itu singgah dan berkembang. Tapi teramat bodoh jika aku harus menyalahkan diriku sendiri. Aku harus bisa berdamai dengan kenyataan, dan berhenti menyalahkan. Aku mempunyai kuasa atas diriku sendiri. Dan aku juga harus berkuasa atas pilihan itu. Jika aku tidak bisa memilih karena takut kehilangan. Maka aku harus membunuh salah satunya.
Hidup itu memang harus memilih. Di setiap pilihan itu harus disertai konsistensi. Tak peduli sebesar apa penyesalan yang akan datang, karna penyesalan itu pastilah ada. Dan tak mungkin bertahan selamanya. Lambat laun penyesalah itu akan hilang, digantikan oleh sesuatu yang haru. Muncul. Hilang. Muncul. Hilang. Dan begitu seterusnya. Aku lebih memilih untuk membunnuh perasaanku sendiri. Karena yang aku bunuh adalah apa yang ada di dalam diriku.Â
Aku tidak harus membunuh perasaan orang lain yang bisa saja akan membenciku seumur hidupnya. Dengan aku membunuh perasaanku sendiri, aku tidak akan kehilangan salah satu di antara mereka. Aku masih bisa bersama dengan mereka tanpa pernah takut dan terus bersembunyi. Ya. Menyembunyikan perasaan yang bisa merusak segalanya. Tapi jika aku membunuh salah satu di antara perasaan itu, aku kehilangan hanya sebatas fiksi, bukan non fiksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H