Dinamika seperti ini sangat bertolak belakang dengan tradisi akademis selama ini diantaranya, menanya, mendiskusikan, di dalamnya termasuk follow-up, hingga menyanggah konsep atas Ilmu Pengetahuan. Alih-alih menerapkan konsep “High Order Thinking Skills” HOTS atau berpikir tingkat tinggi, pelajar semacam dihadapkan dengan dinding kebuntuan yang dapat menurunkan sisi kritis mereka.
Yang demikian, jelas tidak baik bagi masa depan produk lulusan satuan Pendidikan, karena esensi belajar dan pembelajaran yang berangkat dari proses berpikir, terkikis dengan dinamika metode belajar daring yang dilaksanakan selama masa pandemi ini.
Menyoal ketidakpastian pandemi dan kemunduran kultur akademis
Masyarakat Indonesia telah dihantui ketidakpastian sejak implementasi sosial terkait penanganan pandemi pada “kapan sebenarnya masa-masa sulit akibat pandemi ini akan berakhir.” Melihat berita yang ada di media masa, kita seolah-olah dibuat harus hidup berdampingan dengan sesuatu yang sifatnya membahayakan serta mengancam keselamatan.
Keadaan lain yang tak jauh menghawatirkan adalah, bagaimana kita mendapati konstruksi teks/wacana/informasi/berita, yang terkonstruksi secara berulang-ulang dari pusat hingga daerah. Konstruksi tersebut dibangun menggunakan pendekatan Bahasa Politis setiap hari sehingga menyebabkan “common sense” atau kelumrahan di kalangan masyarakat. Kelumrahan yang demikian berpotensi menghilangkan sisi kritis manusia - akan pertanyaan-pertanyaan simpel namun mendasar terkait dengan informasi - karena penerimaan yang wajar di masyarakat.
Wacana tersebut turut mempengaruhi bagaimana konsentrasi gerakan belajar yang biasanya digelar di kampus-kampus, atau sudut-sudut ruangan kota, menjadi semakin berkurang. Tidak ada lagi kegiatan ngopi alias ngobrol pintar di warung kopi, atau sekretariat organisasi, membahas soal pandemi (misalnya).
Di sisi lain aktifitas ekonomi ekstraktif terus dijalankan. Pertambangan, industri, dan lain sebagainya, harus terus beroprasi demi menopang sektor ekonomi. Jika yang menjadi soal adalah kerumunannya, lantas apa yang membedakan kerumunan di ruang-ruang intelektual dengan kerumunan di ruang-ruang pekerjaan? Dalih yang demikian, dan kelumrahan yang diciptakan, adalah sebaik-baiknya sirine kemunduran di bidang Pendidikan.
Kondisi tersebut sangat berpotensi mengakibatkan kelesuan dalam dunia akademis, karena ruang-ruang untuk berfikir kritis nyaris tertutup habis. Tentu masih terdapat alternatif untuk menyiasati keterbatasan dengan menggunakan platform pertemuan virtual agar dapat tetap menggelar kegiatan-kegiatan intelektual. Namun, tendensi persoalan kembali pada soal kerumunan. Mengapa yang itu boleh, dan yang ini tidak boleh.
Kebijakan pemerintah guna memutus rantai penyebaran virus corona, telah menemui titik jenuh yang mengundang sejuta tanya di setiap benak masyarakat Indonesia. Memang saat ini seluruh dunia sedang mengalami kesulitan yang sama, namun tingkat capaian dan penanganan setiap Negara, tentulah berbeda-beda.
Harapannya, institusi Pendidikan dan Pemerintah di sektor pemerataan pembangunan dapat membenahi dan lebih mempersiapkan kembali masyarakat, terkait dengan metode belajar dan pembelajaran secara daring, dengan tanpa mengurangi esensi, dan objektif belajar dan pembelajaran seperti pada metode pembelajaran konvensional.
Dengan demikian, menjadi penting agar Kemendikbud, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), dan khususnya Pemerintah Indonesia, untuk duduk bersama membahas bagaimana alternatif dan solusi terbaik dari pandemi yang tak kunjung berkesudahan, serta ancaman krisis dari kemunduran kultur akademis.