karya  : Reihan Pramana (HTN 21)Â
Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, serta memiliki wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Hal ini juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 19885 tentang Mahkamah Agung.Â
Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024 secara esensial menguji norma Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Norma ini berkaitan dengan syarat usia calon Kepala Daerah yang ditetapkan minimal 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, serta 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Walikota dan Wakil Walikota, mulai dihitung sejak penetapan Pasangan Calon. Menurutnya, norma ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.Â
Pada awalnya, pertimbangan hukum menyetujui bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tidak secara jelas mengatur tentang tahapan dalam Pemilihan Kepala Daerah yang digunakan sebagai pedoman penghitungan usia calon kepala daerah. Hakim juga mengakui bahwa masalah ini bukanlah masalah tata negara atau konstitusionalitas. Namun, pada akhirnya, Mahkamah Agung membuat penafsiran hukum dengan menambahkan rumusan norma baru bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan. Penulis berpendapat bahwa secara teoritis dan normatif, hal ini seharusnya menjadi kewenangan Pembentuk Undang-Undang (open legal policy), bukan kewenangan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, Mahkamah Agung sejatinya telah melampaui batas wewenangnya.
 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur syarat calon Kepala Daerah harus dimaknai berlaku pada tahapan pencalonan, bukan sebagai syarat Kepala Daerah terpilih. Oleh karena itu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020 sudah tepat. Upaya Mahkamah Agung untuk menyamakan syarat pencalonan dari bakal calon menjadi calon Kepala Daerah dengan calon terpilih menjadi Kepala Daerah Terpilih merupakan kesalahan logika hukum yang fatal.Â
Hakikatnya, seseorang resmi menjadi calon Kepala Daerah saat ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Banyak syarat administratif yang harus dipenuhi, sehingga jika syarat usia hanya diperhitungkan saat pelantikan, sementara syarat lain harus terpenuhi untuk menjadi calon, hal ini adalah kekeliruan logika hukum. Terlebih lagi, jika kita merujuk pada pencalonan lain seperti dalam pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif, di mana penghitungan syarat usia ditentukan saat penetapan calon. Menurut saya, ini menunjukkan bahwa penghitungan usia calon kepala daerah harus dilakukan pada tahapan pencalonan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H