Mohon tunggu...
HMPSEP UNPAR
HMPSEP UNPAR Mohon Tunggu... Ilmuwan - Himpunan Mahasiswa Program Sarjana Ekonomi Pembangunan

HMPSEP

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peran Fiskal dalam Mengatasi Perang Dagang

26 Desember 2019   19:54 Diperbarui: 27 Desember 2019   18:41 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perang dagang Amerika Serikat dan China merupakan perang tarif yang dilakukan kedua negara dalam merebut kekuatan pasar dunia. Kekhawatiran Trump terhadap China yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini bersamaan dengan pengaruh China yang begitu besar di seluruh dunia. 

Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence dalam pidatonya, menyimpulkan bahwa situasi ini telah terjadi karena China telah memilih untuk melakukan "agresi ekonomi" daripada "kemitraan yang lebih besar" ketika negara itu membuka ekonominya. Tidak dapat disangkal, sebut saja perusahaan Huawei dan Alibaba melakukan gebrakan kepada ekonomi dunia ketika membuat visi "Made in China 2025" yang dapat terealisasi.

Dibalik semua aktivitas perang tarif yang dilakukan kedua negara tersebut, ekonomi dunia pun ikut merasakan dampaknya. Ancaman resesi kian terasa setelah perseteruan antara Trump dan Xi Jinping yang belum menemui titik terang. 

International Monetary Fund (IMF) telah memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari yang diperkirakan 3,3% menjadi 3,2% atau terlemah sejak 2009. Dampak dari perang dagang ini telah dirasakan oleh beberapa negara, sebagai contoh Singapura yang hanya tumbuh 0,5 persen, Thailand 2,35 persen dan Malaysia 4,37 persen. 

Indonesia masih dapat dikatakan baik yang tumbuh sebesar 5,02 persen di triwulan ketiga 2019. Namun dibalik itu semua, Vietnam dan Filipina dapat bertumbuh lebih tinggi sebesar 7,31 persen dan 6,18 persen.

Indonesia masih dikatakan beruntung dikarenakan walaupun mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, namun konsumsi rumah tangga masih bisa tumbuh 5 persen. Selain itu pula, konsumsi merupakan penopang utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini. Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pajak mengalami penurunan. 

Data Kementerian Keuangan menunjukkan selama periode Januari-Oktober 2019 total pendapatan pajak hanya tumbuh 0,23 persen, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri, yang mencerminkan daya beli, mengalami perlambatan yang negatif sebesar -2,42 persen. Data-data tersebut dapat menunjukkan bahwa perlambatan perekonomian sedang terjadi.

Dalam artikel yang ditulis oleh Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014, berpendapat bahwa kebijakan kontra-siklus sangat diperlukan. 

Melihat beberapa kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah seperti penyederhanaan perizinan bisnis, revisi UU Ketenagakerjaan, dan juga penurunan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak berdampak agar mendorong perekonomian dikarenakan rendahnya tingkat permintaan. 

Oleh karena itu, peningkatan konsumsilah yang diperlukan untuk mendorong produksi dalam jangka pendek ini. Namun, dengan kondisi penurunan penerimaan pajak dan ruang fiskal yang terbatas menjadi permasalahan tersendiri lagi. Chatib Basri berpendapat bahwa terdapat beberapa hal yang dilakukan.

Pertama, berdasarkan studi yang dilakukan Chatib Basri dan Sjamsu Rahardja dari Bank Dunia (2011) menunjukkan kebijakan fiskal Indonesia bersifat pro-siklus. Artinya, ketika penerimaan pajak turun karena perlambatan ekonomi, pemerintah cenderung melakukan penghematan. Sedangkan dibutuhkan belanja yang besar agar dapat mendorong pertumbuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun