Oleh: Nova
Hujan seringkali bertamu pada bumi dengan isyarat gemuruh suara langit.
Rintihan tangisan Desember dirayakan dengan sapaan butir-butir air yang membawa kesaksian,
Bahwa kepiluan seringkali menimpa dan berpijak pada suramnya warna Desember.
Awan hitam kerap kali bersahabat dengan warna langit,
Hingga matahari enggan Menampakkan sinarnya pada kesaksian bumi,
Ia memilih mengalah dan menyembunyikan warnanya,
Karena ia tahu bahwa porsi desember memang tak layak ia hinggapi dengan
Hadirnya setiap waktu,
Dan kepekatan awan hitam tak pernah berpaling dari hakikat Desember.
Karena Desember adalah perayaan paling hangat antara murka langit pada bumi ataupun Rindu gemuruh pada penghuni bumi.
Namun Desember tak pernah mengingkari warna pilunya,
Ia teguhkan dirinya dengan kesabaran menghadapi setiap kedukaan bahkan kesakitan yang menimpa dirinya,
Karena ia tahu bahwa warna kepekatan tak hanya membawa luka yang Mematahkan,
Namun ada kedamaian yang tersembunyi di balik warna pilunya.
Desember yang malang...
Desember kedukaan...
Desember pilu...
Namun kau tak patah ditimpa kemalangan, kedukaan, bahkan kepiluan, karena pada dirimulah
Alam menitihkan asa tentang kerinduannya pada butiran air mata langit yang dinanti
di penghujung tahun.Â
Dan padamu pula awal kemenangan tumbuhan hijau dimulai,
tampak bahagia raut wajah para penghuni bumi disapa hangat air jernih sebening titah perintah sang Pencipta.
Wajah gersang kusam begitu menyedihkan tertata rapi pada rupa seisi bumi berhasil diserikan
kembali dengan nuansa desember.
Bahkan kemarau mengaku kalah pada hadirmu,
Ia tahu bahwa setiap hal yang menimpamu
Perlahan akan mematahkan semangatnya membuat kegersangan di sepanjang sudut bumi.
Dan akhirnya kemarau melambaikan tangan padamu desember,
Entahlah?
Lambaian tangan itu mengisyaratkan perayaan pilumu ataupun kegagalannya menebar kegersangan sepanjang masa di pijakan bumi ini.
Desember, meski kau hangat bersahabat dengan suara gemuruh langit yang berteriak begitu keras hingga membuat kesakitan dan ketakutan yang mendalam pada pendengaran dan jiwa penghuni bumi,
Tetapi kau selalu memaknai hal itu dengan bijak.
Katamu gemuruh bukanlah Malapetaka,
melainkan suara rindu yang baru saja di lepas setelah sekian lama tak berjumpa.
Terimakasih dan maaf ku utarakan padamu Desember.
Inilah bentuk ucapan syukurku padamu.
Dimana kau rela lebur dalam warna kabut hitam.
Sabar saat diteriaki langit dengan keras.
Juga tenang menerima pesan dari langit, lewat butiran air yang jatuh bahkan tanpa permisi.
Desember,
Dalam hitungan hari kau akan menjadi sejarah di tahun 2019,
Namun kenangan dan
Pengorbananmu akan selalu membuatmu hidup dalam catatan kisah.
Kau tak akan mati dalam cerita bumi maupun langit,
karena padamu langit mampu mengutarakan rasanya pada bumi lewat dirimu.
Semoga kesaksianmu di tahun ini, menguatkan desember yang akan datang di tahun 2020 nanti.
Parumaan, 23 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H