Mohon tunggu...
HMIMPO Tarbiyah
HMIMPO Tarbiyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Islam Negeri Mataram

Mahasiswa UIN Mataram

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Low Budget, Height Effect

7 Agustus 2020   15:45 Diperbarui: 7 Agustus 2020   15:42 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rhenald Kasali dalam bukunnya Cracking Zone, menunjukkan the bad news and the good news pada bangsa Indonesia. Kabar buruknya ialah bangsa kita sedang menghadapi persoalan yang menyedihkan seperti rontoknya kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum, meluasnya perilaku korup, birokrasi yang lamban, lalu lintas yang amburadul, buruknya infrasttruktur, rangkaian peristiwa becana alam tanpa respons penangana yang cepat, dan memudarnya sopan santun serta kemampuan berbicara arif dikalangan para penjabat.

Sementara kabar baiknya ialah ekonomi kita sedang bergerakan, gaji guru meningkat empat kali lipat, giarah kewirausahaan, maraknya jejaring sosial dengan 180 juta ponsel, menguatnya sistem demokrasi, tumbuhnya kesadaran baru dan kepedulian sosial serta pratisipasi luas masyarakat dalam berbagai macam kegiatan sosial-ekonomi. Kedua sisi yang dapat dikatakan "hitan dan putih" itu memiliki kekuatan yang seimbang.

Kondisi tersebut memunculkan dua kelompok manusia, yaitu manusia yang putus asa yang kemudian acuh tak acuh dan manusia yang penuh dengan optimisme. Inilah yang disebut oleh Rhenald Kasali sebagai cracking zone yang dapat membuat orang menjadi pemimpin perubahan atau mati ditelan zaman. Kondisi ini amat kritis karena akan menentukan siapa yang akan menjadi pemenang dan siapa yang akan kalah tenggelam oleh zaman. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras dan keberanian untuk melakukan perubahan.

Satu sisi dalam dunia pendidikan, masyarakat percaya bahwa pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang berani mengorbankan banyak uang. Anggapan ini muncul karena sekolah yang berkualitas pasti membutuhkan fasilitas yang lebih lengkap sehingga dibutuhkan biaya yang besar untuk membangun laboratorium yang canggih, mengembangkan kemampuan guru dan karyawannya, menyediakan transprotasi, memenuhi akomodasi, membeli buku-buku yang up to date, menggaji guru yang berpendidikan tinggi, mengadakan sarana prasarana yang modern, menciptakan lingkungan belajar yang sejuk. Orangtua siswa menjadi yakin dengan membayar tinggi, maka anaknya akan memperoleh pendidikan yang terbaik.

Anggapan masyarakat ini kemudian dimanfaatkan oleh para pengelola sekolah dengan cars memoles sekolah agar kelihatan beautiful dan mengaku-ngaku dirinya sekolah favorit. Pengelola sekolah nakal yang bermodal besar membangun gedung yang megah dengan peralatan yang modern kemudian mempromosikannya dengan tarif yang mahal. Peserta didik dimanjakan dengan produk-produk yang sudah jadi. Mereka memberi nama sekolahnya dengan nama yang presetisius agar keliahatan lebih bergengsi.

Akhirnya, muncul orangtua peserta didik yang materialis. Orangtua mencari-cari sekolah mahal  untuk memberikan pendidikan yang terbaik.  Berapa pun biaya sekolah akan diusahakan orangtua, meskipun harus berutang. Hal yang penting adalah anaknya dapat sekolah di tempat yang nyaman. Di sekolah dasar ada yang sampai bertarif puluhan juta untuk masuk. Menariknya, peminatnya pun selalu banyak.

Di sisi lain, kisah film Laskar Pelangi adalah kisah film keberhasilan anak-anak di suatu sekolah yang hampir roboh, namun prestasinya dapat mengalahkan sekolah-sekolah megah yang dibanggakan oleh masyarakat di sekitaran wilayahnya. Sekolah Laskar Pelangi adalah sekolah miskin yang harus beruntang kapur tulis dahulu jika pengajarnya ingin mengajar murid-muridnya. Dengan keterbatasannya ia mampun menjadi juara pada lomba yang bergengsi, mengalahkan sekolah lain yang telah mapan. Kisah Laskar Pelangi merupakan kisah yang mematahkan persepsi masyarakat bahwa prestasi itu harus mahal.

Berangkat dari sini kita harus melihat adanya Cracking zone dalam dunia pendidikan. Ada fenomena masyarakat materialis dan ada pula masyarakat yang idealis. Masyarakat materialis menganggap bahwa prestasi siswa sangat bergantung pada kualitas media yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Sementara masyarakat idealis menganggap bahwa prestasi siswa sangat bergantung pada kualitas ide, nilai dan ideologi yang ditanamkan kepadannya. Dengan kata lain, siswa akan memperoleh pengetahuan, keyakinan, etika dan visi yang berkualitas.

Kedua, fenomena itu sama-sama kuat sehingga benturan antara keduanya menimbulkan sebuah crack atau patahan-patahan perubahan. Oleh karena itu, kita harus masuk dalam patahan perubahan itu, membaca orientasi masyarakat dan menciptakan formula baru pendidikan yang lebih tepat. Dengan demikian, dibutuhkan keberanian berpikir kreatif dan inovatif serta sedikit keberanian untuk berjuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun