BAGIAN I : POSISI
Wilayah Lauje memiliki kondisi topografi yang unik dan bentuk sosial yang menarik, ini bisa dilihat dari letak pemukiman masyarakat Lauje yang terbagi menjadi tiga topografi, ada yang berada di pesisir, perbukitan bagian barat, dan pula perbukitan bagian tengah yang terhalang langsung oleh lereng gunung.Â
Pada posisi sosial juga memiliki bentuk kepercayaan yang berbeda, dalam hal ini masyarakat pesisir menganut keparcayaan agama Islam, di bagian barat perbukitan baru menganut agama Islam walaupun kepercayaan mereka belum utuh (kaffah) untuk menjalankan syareat Islam, karena sisah kepercayaan animisme dan dinamisme yang mereka pernah diyakini, selain di dua tempat Masyarakat Lauje Bagian Tengah menganut Kepercaan Kristen dan sebagian dari masyarakat masih mempertahankan kepercayaan animisme dan dinamisme.Â
Pada bentuk topografi inilah Tania Murray Li di perhadapkan dengan kesulitan serta kerumitan yang berada di Lauje.
Sehingga di awal kunjungannya di tahun 1990 Tania memilih melewati jalur laut untuk di kawasan pesisir Lauje. Tujuan perjalanan Tania ke Lauje adalah di wilayah perbukitan tengah yang mengharuskan Tania dan penerjemahnya menelusuri jalur darat. Kesulitan lain yang dihadapi Tania adalah sikap monopoli dari pemerintah desa yang memastikan kepada Tania bahwa di daerah perbukitan adalah daerah gersanyang tidak bisa dilakukan aktivitas bercocok tanam, padahal diwilayah tersebut menjulang pohon kelapa.Â
Kondisi masyarakat (Perbukitan) Lauje yang termarjinalkan oleh pemerintah desa namun masih mampu bertahan hidup dengan menanam bawang merah. Kondisi inilah yang menjadi pemandangan Tania saat perjalanan menuju ke wilayah perbukitan tengah Lauje yang berdekatan dengan lereng gunung. Kehidupan masyarakat Lauje pada awalnya memang sudah bercocok tanam dengan hasil tanaman-tanaman bulanan seperti jagung, singkong, sagu, hingga pada tanaman mingguan lainya.Â
Selama beraktivitas di Lauje Tania selalu di temani oleh Rani, masyarakat pesisir lauje yang mempunyai pengetahuan yang cukup dengan melihat kondisi sosial kehidupan yang berada di Lauje. Ayah Rani juga seorang pekerja untuk membeli hasil panen jagung dan tanaman bulanan untuk memberikan kepada bos Cina yang acapkali kapalnya sering berlabuh di pelabuhan yang berada di pesisir Lauje.
Sebelumnya masyarakat Lauje sudah mengetahui bagaimana proses jual beli dan mengetahui untung rugi dalam proses tersebut. Walaupun dalam hal ini mereka masyarakat pesisir seringkali memanopoli hasil jual beli dari masyarakat perbukitan.Â
Sikap diskriminasi ini sering dilakukan pada 1996 dimasa rejim Orde Baru pula, kala itu kedatangan pemerintah provinisi ke Lauje di tempat gedung pertemuan desa, mereka yang hidup di perbukitan pun di undang walaupun mereka tidak dapat menguasai bahasa Indonesia baku, dengan begini mereka di olok-olok oleh pemerintah desa. Hal ini melihat kondisi masyarakat perbukitan Lauje sangat keterbatasan pendidikan formal.
Hampir kebanyakan anak warga yang berada di perbukitan Lauje mengalami putus sekolah dan terbatas hanya pada kelas tiga sekolah dasar, dengan alasan tertentu anak mereka juga merasa perlakuan yang diskriminasi.Â