Fenomena viral sering kali menjadi cerminan nyata dari pola pikir dan bias sosial yang melekat di masyarakat. Baru-baru ini, dunia maya diramaikan dengan kisah seorang perempuan yang berjualan gorengan dan dipuji sebagai sosok independen, sementara seorang pria yang menjalani usaha serupa dicap sebagai belum mapan. Fenomena ini mengundang diskusi mendalam tentang bias gender yang masih kuat tertanam dalam persepsi masyarakat.
Dua Narasi, Satu Realitas
Perempuan yang berjualan gorengan kerap dipandang sebagai lambang kemandirian dan kerja keras. Narasi ini muncul karena adanya harapan sosial bahwa perempuan seharusnya bergantung pada pasangan atau keluarga. Ketika seorang perempuan menunjukkan usaha untuk mencari penghasilan sendiri, pujian pun mengalir deras, seolah-olah melawan norma sosial adalah prestasi besar.
Sebaliknya, seorang pria yang berjualan gorengan justru menghadapi kritik. Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi standar maskulinitas tradisional, pria diharapkan memiliki pekerjaan yang dianggap "prestisius" atau "menguntungkan". Berjualan gorengan dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi ini, sehingga muncul anggapan bahwa pria tersebut belum mencapai kemapanan.
Bias Gender dalam Persepsi Pekerjaan
Persepsi ini berakar pada stereotip gender yang mengkotakkan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama yang harus menunjukkan kekuatan finansial, sedangkan perempuan yang bekerja dianggap melakukan hal "luar biasa" karena keluar dari peran tradisional sebagai ibu rumah tangga.
Ironisnya, standar ganda ini menciptakan ketidakadilan dalam penilaian terhadap usaha seseorang. Pekerjaan yang sama, seperti berjualan gorengan, bisa dipandang sangat berbeda tergantung pada siapa yang melakukannya. Hal ini tidak hanya mempertegas bias gender, tetapi juga meremehkan nilai dari pekerjaan itu sendiri.
Peran Media Sosial dalam Membentuk Narasi
Platform media sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk opini publik. Kisah atau gambar yang menjadi viral sering kali dibingkai dengan narasi tertentu yang memengaruhi persepsi masyarakat. Dalam kasus ini, label perempuan sebagai "independen" dan pria sebagai "belum mapan" menyoroti bagaimana stereotip dapat diperkuat melalui media sosial.
Namun, media sosial juga memiliki potensi untuk mematahkan bias tersebut. Diskusi yang muncul dari fenomena ini membuka kesempatan untuk mengedukasi kita agar menilai seseorang berdasarkan kerja keras dan upayanya, bukan dari gender atau ekspektasi sosial yang kaku. Mari kita jadikan ini sebagai momentum untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil, di mana usaha dan kerja keras dihargai tanpa memandang gender atau status sosial.