Di negeri yang katanya demokrasi, Para wakil rakyat berbisik di balik tirai, Menukar suara konstitusi dengan ambisi pribadi, Seolah amanat rakyat hanya ilusi belaka.Â
Hukum dipermainkan di meja perundingan, Keputusan agung diruntuhkan demi sekelumit kuasa, Sang pemuda yang belum cukup umur dipaksa dewasa, Agar mimpi kekuasaan tetap tegak menjulang.
Lihatlah betapa bijaknya mereka, Merombak aturan dengan alasan yang begitu mulia, "Ini demi kepentingan bangsa," kata mereka, Padahal kita tahu, ini demi mempertahankan dinasti, Agar sang pangeran bisa melenggang dengan mulus, Meskipun belum waktunya, tapi siapa peduli?Â
Bukankah luar biasa,Â
Bagaimana waktu bisa dipercepat dengan satu ketukan palu? Bagaimana hukum bisa dibengkokkan seperti lilin, Asal saja kursi kekuasaan tetap hangat diduduki. Terima kasih, wahai wakil-wakil yang terhormat, Telah mengajarkan kami bahwa keadilan itu relatif, Bahwa suara rakyat hanya riak kecil di lautan kuasa, Yang bisa diabaikan atau dibungkam, sesuka hati.Â
Dan jangan lupa,Â
Di negeri ini, demokrasi bukanlah milik rakyat, Tetapi milik mereka yang tahu caranya mempermainkan aturan,Â
Jadi, selamat, wahai para penguasa, Kalian telah berhasil mengubah panggung politik menjadi sirkus, Di mana kami, rakyat, hanya penonton setia, Yang menonton drama ini dengan senyum sinis dan hati yang kecewa.
Penulis: Gela Sabania Extafaro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H