Akibat masifnya pasaran teknologi digital di dunia kemahasiswaan, kini mahasiswa dapat mengakses semua literatur ilmiah atau sumber-sumber informasi yang dianggap bisa memenuhi kebutuhan ranah akademis. Mulai dari mudahnya mendapatkan jurnal-jurnal ilmiah, E-book, majalah, artikel ataupun karya-karya yang sifatnya visual auditorial (video pembelajaran) yang bisa di jadikan rujukan dalam mengembangkan potensi akademis.
Buku yang dulunya dijadikan sebagai jendela dunia sekarang digantikan dengan perangkat-perangkat yang selalu terhubung dengan akses internet karena dirasa lebih mudah dan praktis ketika mencari sebuah rujukan atau literasi untuk sebuah informasi. Ironisnya membaca buku sekarang dianggap kurang efektif dalam belajar. Kebanyakan mahasiswa lebih suka diskusi tanpa membaca dan mendengarkan video pembelajaran yang bersifat ilmiah kemudian memahami secara pragmatis dalam dialektika pembelajaran. Nilai-nilai pembelajaran yang seharusnya kritis dan komprehensif hanya menjadi utopia belaka.
Kemampuan literasi yang ada saat ini kondisinya sangat memprihatinkan bahkan cenderung mengalami degradasi. Perguruan tinggi sebagai salah satu sarana literasi yang ada saat ini belum mampu menumbuhkan nalar  kesadaran terhadap literasi. Pendapat tersebut  bisa dibuktikan dengan sebuah survei dari lembaga internasional  Student for Assisment  yang  menempatkan Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara sungguh sangat miris. Dengan adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat mahasiswa sebagai Agent of Control memiliki pemahaman yang serba instan dan praktis yang berhubungan dengan rendahnya  literasi mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan sehingga  di era keberlimpahan informasi. Mahasiswa belum mampu meningkatkan literasinya sehingga cenderung ke arah pemikiran pragmatisme dan sikap yang cenderung kearah keuntungan diri sendiri.
Khawatirnya jika budaya ini sampai melekat dan mengakar ke seluruh aspek pembelajaran di perguruan tinggi, akan melahirkan budaya baru yang serba praktis dan hanya berfokus pada orientasi kebaikan (subjektif) dan meninggalkan sisi  kebenaran (objective). Mengakibatkan gaya baru yaitu cara pandang pragmatis untuk tujuan tertentu yang membatasi dan menyempitkan kerangka berfikir dan perilaku, Memberikan atau menerima informasi kurang jelas kepada orang lain tanpa menalar kritis, serta bisa juga merubah tata cara kontestasi wilayah akademis yang seharusnya atas dasar kompetensi dan kapabilitas menjadikan eksistensi dan elektabilitas sudah cukup untuk menduduki jabatan atau otoritas tertentu.
HMI diharapkan menjadi salah satu organisasi mahasiswa yang memiliki  peranan penting dalam mengintegrasikan daya juang akademis sehingga peran mahasiswa sebagai agen perubahan sosial bukan sekadar di lidah belaka. Kewajiban mahasiswa sebagai insan akademis mampu menumbuhkan daya juang kritis serta progresif sesuai dengan penerapan nilai mission HMI  dalam menerapkan amanah yang diemban sebagai insan akademis, mempunyai nalar kritis sesuai dengan peran HMI sebagai organisasi mahasiswa
Oleh : Wiranto Adi Putro dan Zulfa Maulana Yusuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H