Penulis: Umar Al-Faruq (mahasiswa dengan "m" kecil)
Oke, lagi-lagi saya akan memulai sebuah tulisan dengan memuji HMI. Walau kondisinya sekarang agak sulit untuk diungkapkan, tapi tak apalah. HMI dikenal dengan organisasi mahasiswa tertua dan terbesar di Indonesia. Dalam sejarah, pengaruh HMI terhadap konstelasi bangsa sangatlah kolosal. Pekikannya lantang nyaring terdengar, keteguhannya tegak berdiri tanpa ragu, dan aroma keringat perjuangannya tercium begitu kuat. Sebagaimana semua hal di dunia ini, langit cerah pada gilirannya akan mendung, pasang pada waktunya akan surut. Tidak terkecuali HMI, kejayaan yang ia miliki secara perlahan dilelehkan oleh zaman.
Makin tua makin loyo, kira-kira itu gambaran HMI hari ini. Dan keasyikan akan kelambanan ini yang menjadikan HMI tidak semenarik sematannya (organisasi mahasiswa tertua dan terbesar). Hari ini, HMI merupakan organisasi yang tak ada bedanya dengan organisasi lain, bahkan mungkin lebih buruk, program dijalankan hanya untuk menggugurkan kewajiban, jabatan diberikan pada yang ekonominya mapan, dan kekuasaan menjadi target unggulan. Sungguh miris melihat organisasi yang penuh dengan setumpuk prestise dan peristiwa romantis perlahan jatuh di kedalaman jurang kehampaan. Kemarau panjang melanda HMI tanpa ada sedikitpun tanda-tanda hujan, HMI kini menjadi sebuah gurun kering yang gersang tanpa air. Kondisi ini mengakibatkan HMI tidaklah menarik dipandang, padahal dulu orang berbondong-bondong melangkahkan kakinya di lantai kehormatan HMI. Apa sebabnya HMI tidak menarik?
Banyak sekali jawaban yang bisa di lontarkan, banyak juga variabel yang bisa di sajikan di meja pertanyaan. Hanya saja hari ini saya hanya akan berfokus pada aspek internalisasi nilai-nilai ke-HMI-an yang terpancar dalam sikap dan tindakan kader HMI itu sendiri. Banyak sekali siasat yang telah digunakan untuk menarik perhatian para mahasiswa agar mau dengan penuh kesukarelaan masuk kedalam rumah besar bernama HMI. Mulai dari menyambut mahasiswa baru di momentum ospek, membuat konten yang menarik, sampai jualan nama tokoh besar yang lahir dari rahim HMI. Tapi, apakah semua cara itu mampu mendobrak eksistensi HMI hingga ia diminati? Bisa iya bisa juga tidak. Sebelumnya saya ingin menyajikan fakta bahwa dalam catatan sejarah, ketika para tokoh besar menyiarkan apa yang ia bawa untuk diikuti, selalu disertai dengan tindakan yang konsekuen dengan ucapan dan kepercayaan. Ambilah contoh ketika Nabi Muhammad menyiarkan Islam, pada saat itu juga ia menggambarkan bagaimana islam dalam bentuk tindakan, ia memancarkan langsung nilai-nilai Islam melalui sikap yang ia tunjukkan. Sehingga ada semacam personifikasi Islam, atau Islam dalam bentuk manusia, dan hal ini memudahkan orang untuk memahami bagaimana Islam itu sendiri
Jika kita berkaca pada fakta kesuksesan dakwah Nabi, ternyata aspek kesesuaian antara ucapan dan tindakan sangatlah krusial. Sulit untuk membayangkan jika Nabi memerintahkan untuk bersikap jujur tapi ia gemar berbohong. Jika caranya demikian saya yakin orang hanya akan menganggap apa yang dikatakan Nabi hanyalah bualan, dan Islam hanyalah kepercayaan buta semata. Tapi karena Nabi konsekuen dengan apa yang ia ucapkan maka, tidak sulit bagi orang untuk percaya bahwa ajaran Islam memang ajaran baik, walaupun memang banyak juga tantangan yang harus di hadapi setelahnya. Dalam konteks HMI, kita selalu semburkan berbagai macam teori mengenai HMI, kita teriakan kebesaran HMI, kita bisikan keagungan HMI, tapi sayangnya seringkali sikap kita (sebagai kader HMI) tidak sesuai dengan kebesaran HMI yang kita utarakan. Kita dengan lantang sampaikan bahwa HMI melahirkan banyak tokoh besar, tapi sikap kita seperti manusia kerdil. Kita dengan bangga mengatakan bahwa HMI pejuang kaum tertindas, tapi sikap kita seperti para penindas. Kita berkoar bahwa HMI harum namanya, tapi kita busuk sikapnya. Jika cara yang ditempuh seperti ini bentuknya, maka jangan salahkan orang lain kalau mereka melihat HMI dengan sinis. Nilai bukan hanya sekumpulan kata-kata, tapi nilai harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Di sadari atau tidak, sebetulnya ketika ikrar kader kita ucapkan di acara penutupan basic training, seketika itu juga ada nama besar yang diletakkan di pundak kita. Nama besar itu ialah HMI, ia harus di rawat dengan sedemikian rupa, ia harus dijaga kesuciannya, dan nilai yang ia bawa juga harus kita kerjakan sepenuhnya. Dengan kita dinobatkan menjadi kader HMI, setelah itu juga perilaku apapun yang kita lakukan akan dianggap pula sebagai perilaku HMI, ucapan apapun yang keluar dari mulut kita akan dianggap pula ucapan HMI. Nama besar itu melekat erat dalam diri kita, nama besar itu sulit dicabut dari pundak kita, apa yang kita lakukan akan selalu diasosiasikan dengan HMI. Maka pada akhirnya saya ingin mengatakan bahwa HMI tidak menarik karena yang kita jual hanya kata-kata penuh dusta, yang kita jual hanya tokoh yang tak kenal kita, harusnya kita "Jual diri" pancarkan nilai-nilai ke-HMI-an melalui perilaku. Kita pertontonkan pada banyak orang sikap-sikap luhur, sehingga dengan ini "Diri" kita (sebagai kader HMI) akan laku "Terjual". Pada akhirnya, orang juga akan melihat nama besar apa yang merekat diatas pundak kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H