Penulis: Umar Al-Faruq (mahasiswa dengan "m" kecil)
Saya yakin tidak sedikit orang yang akrab dengan diksi "berkah". Berkah sangat erat kaitannya dengan kenikmatan, kebahagiaan, kebaikan, dan sering dikaitkan dengan karunia ilahi yang diberikan kepada manusia di dunia. Secara bahasa, berkah adalah istilah yang berasal dari kata dalam bahasa Arab, yakni (barokah) yang artinya nikmat. Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berkah adalah karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Yang selama ini saya saksikan berkah menjadi diksi yang kesannya sangat teologis. Walupun memang betul, bahwa berkah adalah terminologi dalam agama Islam, namun tidak salah apabila kita coba untuk merasionalisasikan konsep berkah itu sendiri. Kalau kita kembali pada pengertian bahwa berkah adalah karunia tuhan yang mendatangkan kebaikan, maka peran tuhan sangatlah sentral bagi kedatangan berkah itu sendiri. Artinya di hukumi berkah atau tidaknya suatu hal menjadi otoritas tuhan sepenuhnya.
Namun, pertanyaan yang akan lahir adalah apakah Tuhan melempar berkah begitu saja ke dunia ini? Apakah Tuhan menjadikan suatu hal menjadi berkah dengan tanpa alasan? Apakah manusia tidak bisa mengupayakan sesuatu menjadi berkah?. Untuk menjawab persoalan itu coba kita bahas dulu secara singkat dua pandangan yang cukup dikotomis dalam dialog ke-Islam-an. Pertama adalah pandangan dari aliran Asy'ariah yang melihat segala sesuatu di dunia ini terjadi karena kehendak tuhan sepenuhnya, yang mana dengan ini manusia dilihat sebagai makhluk yang tak punya kehendak pribadi untuk menentukan arah kehidupannya. Sedangkan di seberangnya ada pandangan Mu'tazilah yg melihat bentuk kehidupan seseorang di tentukan dari bagaimana ia menjalankan privilese kehendak pribadi, artinya manusia dipandang memiliki otoritas penuh untuk menata kehidupan tanpa ada campur tangan tuhan.
Dari dua pandangan ini artinya sesuatu bisa dikatakan berkah apabila tuhan memberikannya secara cuma-cuma, atau bisa karena manusia yang menjadikan sesuatu itu berkah. Tapi saya pikir akan terdengar sangat miring apabila kita melihat dunia, dengan cara pandang salah satu diantara kedua pandangan yang dikotomis itu dengan ekstrim. Menurut metode dialektika Hegel, setiap tesis akan mendapatkan reaksi berupa antitesis (pandangan yg bersebrangan dengan tesis), dan pada gilirannya akan menghasilkan sintesis (paduan dari berbagai cara pandang). Maka dengan ini, Asy'ariah bisa dilihat sebagai tesis yg mendapatkan reaksi berupa antitesis dari Mu'tazilah. Selanjutnya boleh kita fikirkan sintesis atau paduan dari dua cara pandang itu.
Intervensi tuhan dalam mengotak-atik dunia ini hanya sampai batas membuat hukum alam & sunnatullah, hukum alam ialah bagaimana tuhan mengatur keserasian alam, seperti bulan mengelilingi bumi, bumi mengelilingi matahari, dll. Sedangkan sunnatullah berbicara persoalan konsekuensi logis sebagai dampak dari perbuatan manusia, misalkan siapa yg belajar maka akan pintar, siapa yg berusaha maka ia akan berhasil.
Nah, bagi saya berkah adalah konsekuensi dari adanya sunnatullah itu sendiri. Kebaikan bagi kehidupan manusia yang di karuniai tuhan sebagai defini dari berkah, tidak mutlak berarti Allah "random" dalam memberikan keberkahan terhadap suatu hal. Allah menurunkan berkah tentunya karena ada sebab, sesuatu yang dilakukan oleh manusia secara benar, baik, dan indah sangatlah memenuhi syarat bagi keberkahan itu. Andai saja Allah "random" dalam memberikan berkah, apalah artinya sebuah usaha, perjuangan, jerih payah, dan sebagainya. Artinya jelas bahwa tuhan mengatur seluruh sekalian alam, tetapi manusia juga punya kehendak pribadi untuk menata kehidupan dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, termasuk berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H