Vision without execution is a daydream. Execution without vision is a nightmare.(Visi tanpa eksekusi adalah lamunan. Eksekusi tanpa visi adalah mimpi buruk.)
-Japanese Proverb-
Rasanya tidak terasa aku sudah melalui masa kuliah ini selama 5 semester. Entah kurang 2 hingga 4 smester lagi aku sudah seharusnya hengkang dari kampus ini (lebih tepatnya max. 3 semester ditarget ortu selesai..:) ). Bermula dari memilih jurusan ekonomi pembangunan sebagai pilihan “iseng” ketika SNMPTN, hingga akhirnya aku mantap sembari berdoa bahwa aku tidak di jalan yang salah. Kini semester 6 sudah didepan mata, bayangan lulus dan skripsi pun terbayang. Namun sebuah pertanyaan klasik terbesit dalam pikiranku, “akan bekerja apa ketika lulus nanti? Sudahkah cukup bekalku untuk bersaing di dunia kerja esok?”
Selayaknya roda yang berputar, kita tak pernah bisa memastikan apa yang kita lakukan, peroleh atau rasakan di masa depan. Hidup memang penuh kompromi dan menuntut perubahan dalam diri untuk bisa bertahan. Perubahan, penyesuaian, atau pengorbanan adalah pilihan untuk menghindar dari kebinasaan.
Waktu yang tersisa untuk belajar di kampus sudah bias kita hitung, ya kurang beberapa waktu yang menurutku sangat sempit untuk mengisi kapabilitas guna bersaing di dunia kerja esok. Di awal semester 5, aku sebenarnya sudah memutuskan bahwa pada semester 6 tidak ingin terlibat di organisasi di kampus dan aku hanya ingin di pusat data saja, masa transisi ini sebenarnya cukup sulit mengingat banyaknya waktu senggang yang kemudian akan tersedia. Ini sangat bertentangan dengan salah satu prinsip hidupku untuk menjadi manusia ‘produktif’ dengan memanfaatkan setiap detik yang ada. Ya, time is money. Jujur saja, semenjak menjadi mahasiswa ekonomi, prinsip cost-benefit analysis selalu diimplementasikan bahkan di alam bawah sadarku. Opportunity cost dari waktu yang kumiliki tak luput dari kalkulasi. Aku tak mau merugi dengan waktu yang tersia. Tak boleh ada detik habis percuma tanpa memberi nilai tambah.
Adalah pemahaman umum bahwa perspektif atau sudut pandang seseorang berkontribusi besar terhadap segala keputusan yang diambilnya. Keputusan dan pilihan. Dua hal yang kupelajari selama kuliah, sebab hakikat ilmu ekonomi adalah bagaimana ‘membuat pilihan’. Bagaimana mengalokasikan sumber daya yang langka (atau terbatas), dan dalam konteks ceritaku ini adalah waktu serta tenaga. Idealnya, seorang individu rasional mengambil keputusan dengan keuntungan terbesar dan biaya tertentu. Atau katakanlah dengan opportunity cost terkecil. Semuanya tampak sederhana di atas kertas, tapi bagiku proses pengambilan keputusan tetaplah perkara yang luar biasa sulitnya. Yah, teori memang simplifikasi dari realita. Mungkin karena kalkulasi dari opportunity cost tak sekedar penjumlahan atas sekumpulan angka-angka.
Tapi, sesulit apapun, setiap manusia diharuskan memilih langkah yang akan diambilnya. Untuk 1 jam, 1 hari, 1 bulan, atau bahkan bertahun-tahun mendatang. Manusia harus memilih jalan hidupnya. Dan salah satu dari sekian banyak pilihan sulit ini barangkali adalah langkah apa yang akan kita ambil selepas tak lagi menjadi mahasiswa. Bahkan aku mengalami masa sulit ini sekarang, apa yang akan kulakukan selama sisa waktu menjadi mahasiswa? Dan… bekal apa yang aku butuhkan? Apakah bekal organisasiku selama di hima, conference, seminar dan penghargaan lomba sudah cukup?
Satu hal yang patut kita ingat, pelajaran pertama dari membuat pilihan adalah “There’s no such thing as a free lunch”. Ada trade off yang memaksa kita melakukan pengorbanan. Pertanyaannya adalah: sudahkah pengorbanan kita sepadan? Ada nada pesimisme bercampur ketakutan terhadap masa depan. Begitu pekatnya keraguan dan kekhawatiran telah salah melangkah. Hatiku seolah mengatakan ada agregasi besar antara impian dan kenyataan. Antara harapan dan keadaan. Aku sadar betul bahwa ‘kesempatan adalah fungsi dari waktu dan usaha’, tentu ditambah dengan campur tangan Tuhan yang kerap menciptakan ‘kebetulan’ berbuah ‘tawaran pekerjaan’.
Ya, “usaha”. Sebagai anak ekonomi pembangunan, sudahkah kapabilitas yang kumiliki sepadan dengan yang dibutuhkan di dunia kerja? Contoh kecil saja katakanlah… di UI, UGM, bahkan kawan-kawan di Brawijaya dalam pelajaran ekonometri sudah tidak hanya menggunakan alat e-views, tapi juga STATA (sebagai standar world bank katanya). Baiklah STATA, aku hanya bisa basic saja. Aku ingin belajar lebih dalam lagi agar kelak ketika lulus, aku cukup mampu bersaing dengan mereka. Aku juga ingin belajar mengolah data mikro, data survey, aku ingin belajar banyak dengan kawan-kawan yang memang memiliki minat yang sama, visi positif yang membangun, bersama untuk belajar.
Seperti apa yang dikatakan oleh Christian Nestell Bovee, seorang penulis Amerika di abad 19, “A failure establishes only this, that our determination to succeed was not strong enough…”
Dan jika semuanya seolah salah, jangan merasa menjadi orang yang kalah. Setidaknya, kita pernah mencoba. Dalam setiap pilihan yang harus dibuat, pilihlah yang memiliki opportunity cost terkecil. Atau bahasa sederhananya: ambillah suatu pilihan di mana kita tahu bahwa kita tidak akan terbangun di suatu pagi, dengan rasa penyesalan yang paling besar sebab tidak pernah memberi kesempatan diri untuk mencoba. Bukan sekedar memuaskan orang sekitar atau berada dalam zona nyaman dengan status bagus. Bukan pula hanya demi gengsi, reputasi atau kelabilan dalam masa transisi.