Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud RI dibawah Komando Mas Menteri Nadiem merupakan pengejawantahan kebijakan Merdeka Belajar yang sedang digaungkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun belakangan menjadi sorotan berbagai pihak setelah diumumkannya Lembaga dan Ormas yang lolos seleksi sebagai mitra pelaksana POP.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di Indonesia menyatakan mundur dari program tersebut.
Demikian juga dengan  PGRI sebagai organisasi Guru yang kepengurusannya sampai tingkat desa di seluruh pelosok nusantara menyusul langkah yang ditempuh oleh  NU dan Muhammadiyah.
Alasan utama ketiga organisasi tersebut hampir sama yaitu tidak transparannya mekanisme seleksi yang dilakukan oleh Kemendikbud terutama kaitannya dengan kreteria penetapan ormas dan lembaga yang ditetapkan sebagai penyelenggara program.
Lolosnya Yayasan Sampoerna dan Tonato Foundation yang pemiliknya adalah dua konglomerat terkaya di Indonesia menjadi penyebab utama timbulnya permasalahan.Â
Hal ini disebabkan kedua yayasan ini dianggap tidak layak menyelenggarakan program yang sumber anggarannya berasal dari negara seperti Program Organisasi Penggerak ini.
Sebagaimana diketahui bahwa kedua konglomerat ini mempunyai banyak perusahaan yang memiliki CSR cukup besar.Â
Seharusnya CSR tersebut dapat digunakan untuk program yang serupa atau program lain yang dapat membantu pemerintah dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional tanpa harus memakai APBN yang bersumber dari pajak rakyat.
POP yang sejatinya diperioritaskan kepada lembaga atau ormas lokal daerah yang sudah diakui oleh pemerintah pusat maupun dimasing masing daerah banyak yang tidak lolos.
Lalu Merdeka Belajar yang di dengung dengungkan Mas Menteri sebagai andalan memajukan pendidikan serta perbaikan proses pembelajaran akan semakin jauh dari harapan.