Mohon tunggu...
Hijriyah MelatiBaruna
Hijriyah MelatiBaruna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IPB University

Saya adalah seseorang yang menyukai isu-isu sosial dan memiliki minat dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manajemen Komunikasi dan Kesejahteraan Keluarga Single Father di Pedesaan

3 November 2023   16:30 Diperbarui: 17 November 2023   10:35 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/gGeM3G2vewEpbnXN8

      Kelompok 2 Manajemen Sumberdaya Keluarga

Dosen: Dr. Irni Rahmayani Johan, SP, MM

                Dr. Megawati Simanjuntak, S.P, M.Si

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

FEMA IPB

    Keluarga adalah sebuah hubungan yang terbentuk karena ikatan perkawinan antara dua insan. Dalam keterikatan tersebut mereka akan bersama sehidup semati dengan harapan menjadi keluarga bahagia dan sejahtera lahir maupun batin. Seiring dengan waktu, perkembangan keluarga mencakup perubahan tatanan keluarga termasuk dalam siklus keluarga. Perubahan tersebut dialami oleh keluarga secara berkelanjutan. Siklus hidup keluarga terdiri dari 6 tahap yaitu tahap lajang, pasangan muda yang belum memiliki anak, pasangan muda memiliki anak yang masih bergantung, pasangan lanjut usia yang memiliki anak masih bergantung, pasangan lanjut usia yang sudah ditinggal anak, dan seseorang yang sudah ditinggal oleh pasangannya. Seseorang yang kehilangan pasangannya terjadi karena adanya perceraian atau salah satu diantaranya meninggal. Keluarga yang hanya memiliki ayah tanpa kehadiran ibu, disebut single father atau ayah tunggal. Single father memiliki peran sebagai kepala keluarga dan dalam hal perkembangan anak. Masalah pengasuhan anak menjadi masalah yang juga dialami oleh para orang tua tunggal.

      Beberapa masalah yang berkaitan dengan pengasuhan anak adalah bagaimana mengatasi proses kehilangan yang juga dialami oleh anak, bagaimana penyesuaian diri serta bagaimana pola asuh yang tepat. Keluarga sebagai salah satu lingkup kehidupan manusia yang tidak bisa terhindar dari kondisi stres menyebabkan pentingnya untuk menjaga kesejahteraan fisik dan mental. Hubungan komunikasi yang buruk antara anak dan orang tua bisa menjadi sebab terjadinya permasalahan dalam keluarga. Terkhusus jika peran ayah hanya menjadi orang tua tunggal, maka akan menjadi tantangan tersendiri dalam fisik dan mental anggota keluarga terutama ayah tunggal. Menurut Schafer (2000) dalam Rahmawati et al. (2021), manajemen stres adalah suatu program dalam upaya pengontrolan atau pengaturan stres dengan tujuan agar dapat mengenal penyebab stres dan paham akan langkah mengelola stres, sehingga orang lebih siap menangani stres dalam kehidupan. Secara garis besar, manajemen stres berkaitan erat dengan upaya menjaga kesehatan mental individu, yang dituntut untuk mampu mengendalikan, mengontrol dan mengelola stres yang dialami untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan supaya tetap menjalani hidup dengan lebih baik, tentram, dan tenang.

      Penelitian yang dilakukan oleh Aisy dan Purba (2020) menyatakan bahwa komunikasi antara orang tua tunggal dengan anak sangat memengaruhi pembentukan karakter anak. Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua orang tua tunggal dapat berkomunikasi dengan baik kepada anak mereka. Faktor-faktor tertentu dapat menghambat komunikasi antara orang tua dan anak, meskipun ada yang sangat menekankan pentingnya komunikasi dengan anak. Ayah tunggal dapat menerapkan pola komunikasi demokratis atau permissive. Pola komunikasi demokratis yaitu pola komunikasi yang mengutamakan keterbukaan, memberikan anak kebebasan untuk membuat pilihan, dan menekankan pentingnya kesejahteraan anak (Aisy dan Purba 2020). Orang tua yang menerapkan pola ini biasanya mendukung kemandirian anak mereka sambil tetap mengawasi dan memberikan batasan yang jelas. Pola komunikasi demokratis ini berlangsung dalam dua arah dan mencerminkan kehangatan serta kasih sayang orang tua terhadap anak mereka.

    Dalam pola komunikasi permissive, orang tua cenderung memberikan anak kebebasan yang berlebihan dalam pengambilan keputusan (Aisy dan Purba 2020). Mereka mungkin terlalu mengikuti keinginan anak tanpa memberikan batasan yang jelas. Orang tua single parent yang menerapkan pola ini bisa membuat anak merasa tidak diperhatikan dan kurangnya disiplin dalam menghadapi kesalahan. Akibatnya, anak mungkin tidak menyadari konsekuensi dari tindakan mereka dan tidak belajar dari kesalahan mereka dengan baik. Ketika orang tua terlalu membebaskan anak tanpa memberikan panduan atau nilai-nilai yang jelas, anak dapat menjadi tidak terarah dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang kurang antara orang tua dan anak dapat menghambat pembentukan hubungan yang sehat dan terbuka di antara keduanya. Sebagaian besar perkembangan anak yang dibesarkan dalam keluarga utuh dan keluarga yang bercerai memiliki perbedaan signifikan. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang telah bercerai sering menghadapi tantangan psikologis, pendidikan yang terhambat, dan kurangnya kepuasan dalam aspek kehidupan berkeluarga atau pernikahan orang tua mereka. Hal ini sering kali berdampak negatif pada perilaku dan kesejahteraan mental anak-anak (Amato dan Keith 1991).

   Namun, terkait dengan orang tua yang telah bercerai, jika mereka tetap bisa berkolaborasi dalam pengasuhan anak secara bersama-sama hal ini dapat memberikan dampak lebih positif dibandingkan jika anak harus menghadapi situasi orang tua yang bercerai dan mengasuh mereka secara individu sebagai orang tua tunggal (Astuti 2016). Kolaborasi ini tidak selalu berarti tinggal dalam satu rumah, tetapi lebih kepada kemampuan orang tua untuk berkomunikasi secara baik terkait pengasuhan anak. Studi oleh Wellerstein (2000) dalam Astuti (2016) menunjukkan bahwa anak-anak yang tetap memiliki komunikasi rutin dengan kedua orang tua mereka, meskipun tidak tinggal bersama, cenderung mengalami perkembangan psikologis yang lebih baik daripada jika mereka kehilangan kontak dengan salah satu orang tua mereka. Sisi lain, kurangnya komunikasi yang efektif dengan orang tua setelah perceraian berdampak negatif pada harga diri, kepercayaan diri, dan bahkan menyebabkan depresi pada anak.  Bagi orang tua tunggal, tentu saja ada banyak hambatan yang dapat mereka hadapi dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Namun, setiap orang tua memiliki pendekatan yang berbeda ketika menghadapi hambatan tersebut. 

  Menurut Aisy dan Purba (2020), terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat komunikasi antara orang tua tunggal dan anak-anak mereka:

  1. Kurangnya interaksi dengan anak dapat menyebabkan anak merasa kurang diperhatikan oleh orang tua mereka.
  2. Kesalahpahaman sering terjadi dalam komunikasi antara orang tua dan anak.
  3. Jarak geografis dan keterbatasan waktu seringkali membuat orang tua kesulitan untuk berkomunikasi secara teratur dengan anak-anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun