Mohon tunggu...
Ahmad Arif Marzuki
Ahmad Arif Marzuki Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pegawai Swasta

Manusia yang lagi belajar

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendidikan dan Radikalisme: Sebuah Ulasan dan Komentar

8 Agustus 2023   15:04 Diperbarui: 8 Agustus 2023   15:12 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto buku Pendidikan & Radikalisme karya Mun'im Sirry - Dok. pribadi

Buku ini berusaha memotret bagaimana fenomena intoleransi dalam ruang lingkup pendidikan, terutama bangku sekolah SMA dan Perguruan Tinggi. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya menghimpun data-data kuantitatif tetapi juga kualitatif.

Jadi, penulis tidak hanya mewawancarai sebanyak-banyaknya pelajar, tetapi juga melakukan perbincangan yang lebih intens untuk bisa lebih menangkap akar-akar yang paling mendasar dari setiap sikap yang dipilih oleh pelajar. Penulis juga mempertemukan antara data-data lapangan yang bersifat aktual tersebut dengan teori-teori dari para akademisi agar pembaca bisa menerima penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima atas fenomena tersebut. Sekaligus melihat mana teori yang kurang relevan ketika dihadapkan kepada kondisi yang ada di Indonesia.

Berbicara toleransi dan intoleransi, saya ingin ikut berkontribusi memberikan pandangan. Bagi saya hidup di dunia ini sunnatullah-nya tercipta dengan banyak perbedaan, sikap toleransi menjadi sangat penting. Dengan kesadaran akan adanya pluralitas itu saya pribadi membiasakan diri untuk bisa nyaman dengan setiap perbedaan yang ada. Seandainya kita semua 'sama' maka toleransi mungkin bisa tidak dibutuhkan, tetapi faktanya tidak demikian.

Manusia memang cenderung lebih nyaman bersama dengan yang 'sama', orang Jawa lebih suka bersama dengan Jawa, Muslim dengan Muslim, yang se-ide dengan yang se-ide dan lainnya. Kecenderungan seperti itu wajar, tetapi dengan kadar yang tepat, karena terkadang kecenderungan tersebut bablas mendorong manusia untuk menegasikan yang berbeda darinya.

Apakah dengan alasan yang sama kita juga harus toleransi kepada mereka yang punya pikiran-pikiran teror, kriminal dan sejenisnya? Mungkin di sini pentingnya kita mesti memiliki dasar yang sama dalam membangun hubungan toleransi, dasar yang menjadi kesepakatan bersama, dasar yang secara naluriah menjadi kebutuhan kita bersama, yakni kedamaian. Toleransi kita harus dibangun di atas kepercayaan bahwa kita yang saling berbeda ini, sama-sama perlu dan membutuhkan kedamaian.

Di sinilah menurut saya batas toleransi. Ketika kita bertoleransi dengan segala perbedaan yang ada, ada sebagian kecil perbedaan yang tidak bisa kita tolerir yaitu ke-tidak-damai-an. Kenapa kedamaian? Karena ia adalah kebutuhan asasi bagi setiap jenis kita, apa pun suku, jender, golongan, agama, dan sebagainya. Jadi yang menjadi indikator paling asasnya harus yang diakui oleh semua, bukan faktor-faktor menurut golongan tertentu.

Menurut golongan A babi itu tidak boleh dimakan, tapi bagi golongan B boleh, apakah faktor haram babi bagi golongan A tepat dijadikan dasar indikator untuk bersikap intoleran kepada golongan B? Bagi saya tidak bisa, apa pun alasannya.

Tetapi seandainya golongan B adalah pro pemakan babi 'garis keras', sehingga mereka berbuat anarkis, kriminal, bahkan teror, kepada para pihak yang tidak makan babi. Maka bagi saya perbuatan tersebut pantas untuk ditertibkan dengan tegas demi kedamaian bersama.

Oleh karena itu mungkin kita bisa katakan bahwa 'intoleransi' boleh terjadi kepada siapa yang tidak punya komitmen tentang kedamaian. Intoleransi ini tersalurkan dengan upaya pencegahan, penghukuman, dan perlawanan terhadap tindakan yang anti damai, biasanya oleh para aparatur negara. Jadi, toleransi apakah ada batasnya? Menurut saya 'ada', yaitu ketika kedamaian bersama terancam. Kita tidak bisa mengatakan kepada polisi yang menertibkan preman pasar dengan mengatakan "Hai polisi kasih toleransi dong! Preman juga cari rezeki, cuma caranya saja yang berbeda".

Tetapi di sini ada polemik, jika damai adalah indikator, apakah pikiran anti damai harus ditertibkan sejak dalam pikiran atau hanya jika sudah keluar menjadi aksi? Saya termasuk yang percaya bahwa akan sulit untuk menghakimi pikiran seseorang, karena pikiran itu tidak ada wujudnya, berbeda dengan aksi atau tindakan yang sifatnya kasat mata. Jika kita percaya bahwa aksi selalu didasari oleh pikiran, maka menghakiminya mesti setelah menjadi aksi. Menghakimi pikiran tanpa ada dasar atau bukti nyata dari aksi yang melanggar, hal itu akan menjadikan kita saling curiga dan penghakiman akan terjadi secara semena-mena oleh pihak tertentu yang kuat, berdasarkan tafsir mereka atas pikiran seseorang, yang belum pasti benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun