Ada hal baik ketika hari lebaran, yakni kumpul keluarga, saling berkunjung ke kerabat dan orang-orang di sekitar kita. Salah satu yang menjadi kebiasaan adalah berjabatan tangan. Tidak jarang kita dihadapkan ke dalam keadaan berjabatan tangan dengan yang bukan muhrim. Sebenarnya bagai mana ajaran Islam mengenai hal tersebut?
Dikutip dari laman resmi Lembaga Fatwa Mesir (Dar Al-Ifta Al-Mishriyah) fatwa Syekh Ali Gomah. Bahwa para ulama berbeda pendapat dalam melihat hukum berjabatan tangan antara pria dan wanita yang bukan muhrim.
Pertama ialah kelompok mayoritas yang mengatakan bahwa berjabatan tangan itu haram mutlak tanpa terkecuali. Yang kedua kelompok ulama mazhab Hanafi dan Hanbali yang mengatakan bahwa hukumnya masih ada pengecualian, yakni jika berjabatan dengan lansia yang kita tidak ada ketertarikan, maka itu masih diperbolehkan. Yang ketiga kelompok ulama lainya yang membolehkan berjabatan tangan tanpa ada pengecualian.
Argumentasi Mereka
 Argumentasi kelompok ulama yang mengharamkan di antaranya perkataan Saidah Aisyah RA "Tangan Rasulullah SAW tidak pernah sama sekali menyentuh tangan wanita lain". Dan juga hadis dari Ma'qil bin Yasar RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh menusukkan jarum besi ke kepala pria lebih baik dari pada dia harus bersentuhan dengan wanita yang tidak dihalalkan baginya".
Lalu bagi ulama yang memperbolehkan, kelompok kedua dan ketiga tadi, argumentasinya adalah riwayat yang menyebutkan bahwa Saidina Umar bin Khatab RA pernah berjabatan tangan dengan wanita-wanita non muhrim saat mereka membaiat Umar. Dan juga riwayat lain yang menyatakan bahwa Saidina Abu Bakar As-Shidiq pernah berjabatan dengan wanita tua ketika ia sedang menjadi khalifah.
Dari sini kelompok yang membolehkan berkesimpulan bahwa keharaman berjabatan tangan dengan wanita non muhrim hanya terkhusus untuk Nabi Muhammad SAW. Mereka juga memperkuat lagi pendapatnya dengan hadis yang ada di Shahih Bukhari bahwa Nabi SAW pernah menjadikan Ummu Haram binti Milhan yang seorang wanita menyentuh mengusap (tafalla) kepala Nabi. Di Bukhari juga menyebutkan bahwa Abu Musa Al-Asyari RA menjadikan seorang wanita dari jamaahnya menyentuh kepalanya.
Kesimpulannya, semua pendapat ulama tadi baik yang melarang dan membolehkan semuanya adalah ajaran Islam. Ketika kita sulit untuk tidak berjabatan tangan maka berjabatlah, terkadang kita perlu melihat siapa yang kita ajak berjabatan. Kalau pandangan penulis, saya lebih memilih berjabatan tangan ketika saya menilai bahwa berjabatan tersebut adalah sebuah 'penghormatan' atau 'penghargaan', dari pada rekan saya merasa canggung apalagi merasa kurang dihargai.
Tetapi ingat, mengikuti pendapat mayoritas ulama lebih baik. Apalagi orang-orang muslim Indonesia banyak yang mengerti dan paham ketika kita memilih tidak berjabatan tangan, diganti dengan dua tangan saling menempel di depan dada.
Membatalkan Wudhu?
Berbicara tentang ini, maka kita akan masuk kepada permasalahan bersentuhan kulit antara wanita dan pria yang bukan muhrim, bukan hanya berjabatan tangan. Dan ulama sekali lagi, berbeda pendapat tentang hal-hal yang membatalkan wudhu.
Imam Syafi'i berpendapat bahwa bersentuhan antara pria dan wanita bukan muhrim itu membatalkan wudhu walau tanpa syahwat. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bersentuhan itu tidak membatalkan wudhu walaupun dengan syahwat. Lalu Imam Malik berpendapat di antara keduanya, jika bersentuhan dengan syahwat maka batal jika tidak dengan syahwat maka tidak batal.
Kemudian jika di antara kita ada yang mengamalkan dawam wudhu (senantiasa dalam keadaan berwudhu) itu adalah hal baik, tetapi perlu diperhatikan, bahwa maksud dari dawam wudhu itu bukan tidak pernah batal wudhunya, tetapi---sepemahaman penulis---ketika wudhu kita batal kita segera wudhu lagi. Jadi boleh saja kita batal wudhunya karena berjabatan tangan, karena batal wudhu itu sama sekali bukan masalah.
Pada prinsipnya ada kaidah dasar yang harus dipegang oleh seorang muslim jika berhadapan dengan perbedaan pendapat di antara para ulama.
Pertama, jangan pernah mengingkari sebuah kesepakatan (al-mutafaq 'alaih) tetapi jangan juga menyangkal sebuah perbedaan (al-mukhtalaf fih). Maksudnya, dalam Islam ada perkara-perkara yang disepakati seperti shalat lima waktu itu wajib, puasa Ramadhan itu wajib, Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka ini adalah beberapa perkara yang tidak boleh diingkari oleh seorang muslim. Dan  juga ada perkara-perkara yang tidak disepakati seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berjabatan tangan, doa qunut dalam shalat, dan sebagainya. Ini adalah contoh perkara yang tidak boleh disangkal dengan menerima satu pendapat dan menolak atau bahkan menyalahkan menyesatkan pendapat lain.
 Kedua, siapa saja yang merasa berat mengikuti suatu pendapat boleh mengikuti pendapat yang lain, yakni dalam ranah persoalan yang tidak disepakati tadi (al-mukhtalaf fih). Ketiga, keluar dari perbedaan pendapat dengan mengikuti pendapat yang terkuat argumentasinya itu lebih baik.
Memandang Lawan Jenis yang bukan muhrim
Biasanya saat melakukan jabatan tangan itu dibarengi dengan memandang wajah yang kita jabat tangannya, apakah itu boleh? Maka jawabannya, yang paling diakui oleh para ulama fikih bahwa melihat wajah dan telapak tangan wanita itu diperbolehkan, bahkan Imam Abu Hanifah menambahkan melihat kedua kakinya juga masih diperbolehkan jika tanpa syahwat dan tidak menimbulkan fitnah.
Karena jika kita melihat firman Allah dalam surat An-Nur ayat 30: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandanganya, dan memelihara kemaluannya".
Ulama memahami ayat ini bahwa perintah menahan pandangan dangan perintah memelihara kemaluan tidaklah sama. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasyaf, bahwa pada perintah menahan pandangan diselingi dengan kata min sedangkan pada perintah menjaga kemaluan tidak demikian. Hal ini menunjukkan bahwa melihat adalah perkara yang lebih luas, orang masih bisa melihat rambut lawan jenisnya yang muhrim, dan masih bisa melihat wajah, telapak tangan, serta kaki yang non muhrim.
Berbeda dengan perintah memelihara kemaluan, maka itu perintah yang tidak ada pengecualian seperti yang tadi. Narasinya berbeda, seolah-olah Allah berkata "Boleh melihat kecuali yang dilarang, tetapi bersetubuh dilarang kecuali kepada yang halal". Jadi tingkat larangannya berbeda. Wallahu 'alam. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H