Nayla membanting pintu kamar. Ia marah, kesal bukan kepalang. Barang-barang yang ada di kamarnya ia lempar ke lantai. Buku-buku, boneka, tempat pensil, tas, dan bantal guling. Seakan tak puas ia juga mengacak-acak sprei tempat tidurnya. Ia sangat jengkel, hatinya penuh sesak oleh kemarahan dan protes yang tidak didengarkan ayah. Sudah beberapa kali ayah berbicara tentang seorang ibu baru untuknya. Nayla benci. Ia berontak, tak sudi punya ibu tiri. Tapi ayah terus membujuknya.
“Nayla buka pintu, Nak! Dengarkan Ayah dulu. Ayah belum selesai bicara.”
Ayah mengetuk-ngetuk pintu. Nayla tak peduli. Ia telanjur jengkel pada ayahnya yang terus-terusan merayu agar ia bisa menerima ibu baru itu. Dihempaskannya tubuh ke kasur yang sudah berantakan. Air matanya membanjir, tangisnya tak tertahan. Nayla disergap kesedihan yang teramat dalam.
Nayla bangkit. Ia mengambil foto Mama di meja belajar. Dipandanginya lekat-lekat foto itu dan kemudian didekapnya penuh cinta. Ia rindu pada Mama. Mama meninggal dua tahun lalu ketika melahirkan adiknya yang juga tidak bisa diselamatkan. Nayla sangat kehilangan. Mama cantik, lembut, baik, dan sangat menyayanginya. Baginya Mama sangat sempurna. Tiap hari ia selalu menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk Nayla. Mama mengantar dan menjemputnya sekolah, mengajarinya belajar dan mengerjakan PR, mengaji, menemaninya bermain, dan membacakan dongeng untuknya sebelum tidur. Mama pula yang mendandainya tiap pagi dan sore hari agar terlihat cantik sepertinya. Tak sekalipun Mama memarahi Nayla. Kalaupun Nayla salah Mama selalu mengingatkan dengan lemah lembut. Sungguh tak ada perempuan sebaik Mama di dunia ini. Bagi Nayla, Mama benar-benar tak tergantikan. Apalagi oleh seorang ibu tiri. Tidak, tidak ada yang boleh menggantikan Mama di rumah ini.
Hati Nayla semakin kuat memberontak. Hari ini Ayah akan mempertemukan Nayla dengan calon ibu barunya. Nayla sedih. Susah payah ia meminta ayah untuk tidak memberinya ibu baru. Ayah tidak bergeming meskipun Nayla sudah mogok makan. Berulangkali ayah meyakinkan Nayla bahwa tidak semua ibu tiri jahat. Bahwa ibu barunya ini sangat menyayangi Nayla. Nayla tidak percaya. Bagaimana mungkin ibu baru itu sayang padanya sedangkan ia bukan anaknya? Apa mungkin ada ibu tiri yang baik hati? Tidak, Nayla tidak percaya. Ia tidak bisa melupakan kisah Arie Hanggara yang disiksa ibu tirinya sampai meninggal. Nayla takut, sangat takut.
Nayla mengemasi pakaiannya. Lebih baik ia tinggal di rumah nenek daripada harus tinggal dengan ibu tiri.
Cuaca sangat panas ketika Nayla naik bis kota. Peluh bercucuran dari dahinya. Ia menyekanya dengan ujung baju. Penjual-penjual asongan keluar masuk bis.“Karcis, Neng. Turun dimana?” Pak Kondektur mendekati Nayla.
“Jembatan Merah, Pak,” Nayla menjawab sambil memberikan uang lima ribu rupiah.
Di depan Jembatan Merah Plaza, Nayla turun dari bis. Lalu lintas sangat padat. Kendaraan berdesak-desakan dan saling menyerobot. Bunyi klakson bersahut-sahutan. Pedagang kaki lima berjejer-jejer membuat jalan semakin padat. Nayla ragu-ragu. Ia tidak berani menyeberang sedangkan untuk ke rumah nenek ia harus masuk gang kecil di belakang plaza.
“Bismillaahirrahmaanirrahii…m.”
Nayla memberanikan diri untuk menyeberang. Tapi tiba-tiba...
“Bruukk!”
Sebuah sepeda motor menabrak Nayla. Ia jatuh tersungkur. Tangan dan kakinya berdarah. Nayla berteriak kesakitan dan menangis meminta tolong. Kepalanya pusing sekali. Beberapa menit berikutnya matanya berkunang-kunang. Gelap, Nayla tidak bisa melihat apa-apa.
Ketika terbangun, Nayla sudah dirawat di rumah sakit. Tangan, kaki, dan pelipisnya dibalut perban. Nenek menungguinya bersama seorang perempuan yang sepertinya ia kenal.
“Nayla, sudah bangun sayang,” kata perempuan itu sambil mengelus kepalanya.
“Bu Linda…, kok Ibu ada di sini?”
Perempuan itu adalah Bu Linda, gurunya di TK dulu. Bu Linda sangat baik. Ia sayang pada semua murid-muridnya. Nayla ingat Bu Linda melatihnya tari dan paduan suara untuk pementasan seni. Bu Linda juga sering memberinya hadiah-hadiah kecil seperti buku dongeng atau crayon. Kalau Mama terlambat menjemputnya, Bu Linda lah yang menemani Nayla sampai Mama datang. Tak jarang Bu Linda membagi bekal makan siangnya dan menyuapi Nayla. Dulu sewaktu Mama masih ada, Bu Linda juga sering main ke rumah dan membuat kue bersama-sama Mama. Tapi kenapa sekarang ia di sini? Nayla memandang Nenek dengan tatapan tak mengerti.
“Nayla, mulai sekarang Bu Linda akan lebih sering menemani dan merawatmu,”kata Nenek.
Nayla masih tak mengerti. Ayah masuk membawa buah lalu duduk di tepi tempat tidurnya.
“Nayla, kamu sudah merasa baik, Nak? Mana yang sakit?” tanya ayah.
“Ayah, kenapa Bu Linda di sini?”
Ayah tersenyum.
“Nayla, apa kamu sayang sama Bu Linda?”
“Sayang Ayah. Bu Linda baik sama Nayla.”
“Nayla, kalau Bu Linda jadi ibunya Nayla bagaimana?”
“Maksud Ayah?”
Ayah tersenyum lagi. Nayla memandang Ayah dan Bu Linda bergantian. Semakin tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Nayla, Bu Linda adalah calon ibu baru untuk Nayla. Nayla tidak keberatan kan? Apa Nayla masih nggak percaya kalau Bu Linda sayang pada Nayla?”
Nayla mengerti sekarang. Rupanya Bu Linda akan menjadi ibunya yang baru. Nayla merasa lega. Ia sudah mengenal Bu Linda sejak TK. Bu Linda sama baiknya dengan mama. Nayla tersenyum. Ia jadi mengerti kalau tidak semua ibu tiri jahat seperti yang diceritakan dalam kisah Arie Hanggara. Nayla mengangguk dan sekali lagi menyunggingkan senyum pada ayah dan calon ibu barunya. Ia berjanji pada mereka untuk tidak akan kabur lagi dari rumah.(*)
Oleh:
Heni Kurniawati
Penulis novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC)
foto: www.waislama.info
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H