Pagi itu televisi sudah menyala. Seperti yang lain juga, stasiun itu menayangkan infotainment yang tidak habis-habis beritanya. Seorang artis, merayakan ulang tahunnya yang ke-17, menjadi sajian pagi itu. Pestanya meriah, dekorasinya megah. Teman, sahabat, dan rekan kerja si artis larut dalam tawa lepas tiada habisnya. Bahkan, ada penyanyi ngetop asal Amerika yang ikut memberi kejutan, menambah kesan entah berapa rupiah yang telah dihabiskan. Kejutan belum berakhir. Setelah acara tiup lilin dan potong kue (yang tentu saja juga sangat besar), si artis mendapat hadiah istimewa dari orang tuanya. Sebuah mobil mewah Cadillac Escalade ESVseharga 3,4 M. Wow!
Memang tidak ada yang aneh saya rasa. Si artis cukup ngetop, dan memang menjadi idola dikalangan remaja. Sinetronstripping-nya ber-rating tinggi. Dan dia memang sedang di puncak karir, menyabet gelar bergengsi sebagai artis wanita terfavorit tahun ini. Jadi, bisa dibayangkan berapa penghasilan dia dari satu sinetron saja. Belum lagi dia juga penyanyi,presenter, dan profesi lain yang tentu saja bergaji tinggi. Perayaan ulang tahun seperti itu sangat wajar bagi artis sekelas dia. Apalagi, usia 17 tahun saat ini masih dianggap keramat sehingga harus diperingati spesial.
Namun, entah kenapa hati saya berontak melihat televisi pagi itu, seakan tidak rela melihat realitas yang ada. Tentu saja bukan karena saya tidak pernah merayakan ulang tahun seperti si artis, atau karena saya tidak pernah dihadiahi mobil saat ulang tahun. tetapi bagaimana bisa seorang anak yang ‘kebetulan beruntung’ bisa dengan biasanya menghabiskan milyaran rupiah untuk pesta dan hadiah sementara banyak anak yang lain masih mengemis, bergelut dengan sampah dan barang rongsok untuk makan hari esok? Usia mereka mungkin sama, hanya garis takdirnya yang berbeda. Takdir memang wilayah Tuhan, tetapi bukankah manusia diberi kesempatan untuk memilih takdir mereka sendiri?
Kita tentu saja tidak bisa menyalahkan sepenuhnya si artis. Apalagi si pengemis. Mereka hanya menjalani kehidupan yang sialnya memaksa mereka untuk patuh tanpa interupsi. Sistem negara ini ternyata juga mendukung. Liberalisasi dan globalisasi menempatkan kapital bak raja di tengah rakyat jelata. Yang punya modal tentu saja yang menang, yang terlanjur miskin jangan harap merasakan pesta. Kapitalisasi di segala sektor akan mempercepat ekonomi yang seperti “gelas anggur”. Singkatnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Sialnya, demokrasi yang selama ini kita puja ternyata juga memberikan sumbangsih nyata untuk memiskinkan mereka . Bagaimana tidak, negara memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu. Tidak peduli dia mampu atau tidak. Analogi sederhananya seperti ini. Ibarat sebuah lomba balapan, demokrasi mengharuskan setiap pesertanya menempuh jalur yang sama panjangnya. Tetapi tidak mengharuskan setiap pesertanya menggunakan kendaraan yang sama. Bagaimana mungkin sepeda bisa menang melawan mobil jika panjang lintasannya masing-masing sama?
Ketika kebebasan sepenuhnya ditentukan oleh rakyat, tentu saja tidak semua rakyat siap menerima kebebasan itu. Jika memang punya modal awal yang baik, selamatlah dia. Menjadi pemenang dalam kompetisi liberalisasi. Tetapi jika rakyat masih masih belum siap, liberalisasi menjadi senjata paling ampuh untuk memiskinkan sampai keajaiban menyapa mereka. Singkatnya, dalam kasus tertentu, demokrasi memberikan keadilan semu, tanpa menyentuh substansi keadilan itu sendiri.
Selain itu, dalam alam demokrasi, suara terbanyak kerap kali menjadi parameter utama penakar kebenaran. Suara terbanyaklah yang dianggap paling benar, karena dianggap paling mewakili keinginan masyarakat. Untuk sebagian kasus, mungkin kita perlu mengikuti pendapat mayoritas orang. Toh akan lebih mudah dipertanggung jawabkan.
Tetapi, tidak selamanya suara kolektif itu baik, karena kebenaran hakiki itu mutlak, bukan relatif. Bukankah semua agama berasal dari satu orang atau kelompok minoritas yang berani menentang buasnya tirani budaya? Kristen lahir ditengah-tengah kuatnya paham paganisme, Islam dibawa oleh seorang Rasul yang hidup diantara kaum kafir yang hampir semua menyembah berhala, dan lain sebagainya. Artinya, tidak selamanya yang banyak itu baik.
Saya bukan pemuja sosialisme-komunisme. Dan saya juga bukan penentang liberalisme, yang memang cenderung tumbuh subur di alam demokrasi ini. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa jangan sampai sistem yang selama ini kita elu-elukan malah menjadi dogma yang seakan tabu kita kritisi. Apapun sistemnya, itu hanyalah metode.
Tujuan kita tetap keadilan dan kesejahteraan untuk mencapai harkat dan martabat rakyat yang baik. Ketika tujuannya semakin jauh dan hampir tak logis untuk dijangkau, tentu perlu kita evaluasi metodenya. Dan bukan malah memaksakan metode dengan merasionalisasikan tujuan. Semangat awal sosialisme baik untuk mencapai keadilan yang sebenar-benarnya, tetapi mangabaikan hak-hak individu adalah kekeliruan besar. Saya lebih suka menyebutnya sosialisme humanis.
Kata John Locke, kekuasaan, yang diterjemahkan menjadi konsepsi negara, hadir dari upaya individu untuk menyatukan visi mereka dalm sebuah komunitas. Sedangkan sejarah membuktikan, bahwa negara lahir dari ketidakmampuan individu mengatur dirinya sendiri akibat adanya kepentingan yang saling berbenturan. Jika sistem negara yang ada belum mampu menjamin tercapainya visi dan tujuan, masihkah kita bernegara? Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H