Mohon tunggu...
Hardian Kokoh Pambudi
Hardian Kokoh Pambudi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kontribusi Tiada Henti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengembalikan Semangat Perjuangan

17 Agustus 2011   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:42 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu, bentakan Syahrir kepada Soekarno menggema. “Tutup mulumu!” kata Syahrir dalam bahasa Belanda. Soekarno terlalu lama di kamar mandi, sambil menyanyi pula. Itu mengganggu menurut Syahrir. Sang Presiden marah, tidak terima, dan merasa dilecehkan. Mencoba membalas, tapi apalah artinya.

Nuansa panas antara keduanya tentu bukan semata soal senandung. Terlalu sepele saya rasa bagi negarawan seperti mereka. Tentu ada hal sangat mendasar yang tidak bisa disatukan.Ya, saat itu, Soekarno sangat nasionalis ekstrim dengan slogan-slogan galak dan menantang. Sementara Syahrir, seorang sosialis, yang sangatkomitmen dengan ideologi kerakyaatan berbasis humanisme. Permusuhan mereka tetap berlanjut. Partai Syahrir dibubarkan Soekarno, lantas dia dipenjara.

Namun yang menarik kawan, mereka seorang negarawan yang matang. Teguh prinsip, kuat pendirian, luas wawasan. Konflik keduanya begitu melegenda, namun persahabat mereka juga bukan cerita yang mengada-ada. Untuk Indonesia, mereka satu visi. Bagaimana membawa bangsa besar ini adil dan sejahtera adalah nafas yang tiada habisnya. Bersatu untuk negeri jauh lebih penting dari sekedar menuhankan ego dan idealisme pribadi. Dan dialog menjadi niscaya ketika visi sudah menjadi pedoman bersama.

Mereka kompak membangun negeri. Bersama Hatta, mereka disebut tiga serangkai. Dua tahun mengawal proklamasi bukan pekerjaan sembarangan. Dengan segala perbedaan dan ketidaksatuan prinsip, komitmen mereka tak lantas memudar. Fokus kepada visi dan dialog untuk mencari solusi adalah kebiasaan yang tak lepas dari kaum negarawan ketika itu. Silahkan berdebat, beragumentasi. Karena itulah khazanah demokrasi.

Entah kenapa saat ini terlalu sulit mencari cerita seperti itu. Mungkin itu hanya sejarah yang dapat dinikmati dengan novel dan film. Atau mungkin kisah tersebut hanya romantisme masa lalu yang kadang bagi kita seperti candu. Apalagi saat itu kondisi bangsa memang sangat prihatin. Mau merdeka saja susah, apalagi sejahtera? “mimpi kali yee” kata anak muda jaman sekarang.

Namun bukankah sejarah pula yang kata orang bijak adalah guru terbaik bagi kita? Dan bukankah nilai – nilai moral itu berlaku tak kenal ruang dan waktu?

Saya rindu masa-masa itu kawan. Masa dimana tokoh bangsa yang sangat berbeda, berdebat, berbantah-bantahan, bahkan bertengkar hebat, namun punya visi yang sama, membangun bangsa yang adil dan sejahtera. Masa dimana Natsir yang Islam dan Kasimo yang Katholik bergandengan tangan menghapus komunis. Masa dimana Haji Agus Salim dan Muso saling menyematkan gelar binatang namun tetap hangat bersahabat. Bukan untuk mengenang romantisme semata, tapi mengambil spirit yang hiang.

Saat ini para pejabat nasional (saya belum rela mereka disebut negarawan) saling lempar kritik dan caci maki. Belum lagi intrik yang sembunyi dibaik senyum sinis dan pujian tanpa arti. Sesaat mungkin sama apa yang terjadi dengan tokoh yang saya ceritakan diatas. Tapi jujur harus diakui bahwa saya ragu, apakah mereka masih berpegangan pada visi yang sama? Atau hanya pragmatisme dan kepentingan pribadi dan golongan saja yang mereka cari?

Berjuta masalah masih menghantui republik ini kawan. Kemiskinan yang mewabah, kebodohan yang tiada habisnya, moral yang kian merosot, utang negara yang berlimpah, menjadi realita yang walaupun buruk harus kita hadapi. Belum lagi segala bentuk pengingkaran terhadap nilai luhur bangsa kita. Kekeasan atas nama agama, hilangnya rasa kemanusiaan, keadilan yang memihak bangsa asing, dan juga masalah lain yang tidak cukup hanya kita tangisi. Kita disini untuk menjadi solusi.

Negara ini memang sedang sakit, tetapi pesimis bukan sifat yang perlu dibudi-dayakan. Lihatlah rakyat yang terus berjuangmengambil sejumput nilai kehidupan. Lihatlah pedagang yang sudah memadati pasar sebelum fajar. Lihatlah semangat anak SD yang berjalan panjang menuju sekolahnya. Tiap hari warga kota memadati jalan dan berlalu lalang mencari penghidupan. Bersyukurlah bahwa negeri ini dihuni oleh orang-orang yang tegar ditengah kondisi yang kritis. Dan kita, sudah saatnya menjadi solusi bagi mereka, apapun itu bentuknya.

Karena kebenaran manusia itu subyektif dan relatif, maka dialog haruslah dikedepankan dalam mengatasi segala persoalan. Sudah saatnya kita menanggalkan anggapan bahwa kita ini tuhan, yang mengklaim adanya kebenaran tunggal. Ini negara demokrasi, kawan, yang setiap orang berhak bicara apa saja asal tetap menghormati hak-hak orang lain. Oleh karena itu, setelah tingkatkan kapasitas diri, rajin-rajinlah berdiskusi untuk mencari solusi. Toleransi menjadi dasar, dan otoriter harus dibuang jauh jauh dalam kamus kita berdinamika. Republik ini dahulu tidak dibangun oleh orang berideologi sama. Jadi nikmatilah demokrasi ini dengan sebaik-baiknya. Visinya harus sama, yaitu negara ini adil, makmur dan sejahtera.

Dulu, rumah H. O. S. Cokroaminoto di Surabaya disebut sebagai “Rumah Ideologi”. Bergelar demikian karena tokoh bangsa ketika itu sering berdiskusi menyatukan visi walaupun dengan prinsip pemahaman yang berbeda-beda. Soekarno yang nasionalis, Haji Agus Salim yang Islam moderat, Semaun yang komunis, bahkan Kartosuwiryo dengan Darul Islam-nya memanfaatkan rumah tersebut untuk saling berargumentasi. Mereka berbeda, tapi berjuang untuk Indonesia.

Sekarang, kita rindu rumah ideologi yang lain. Kita rindu kampus ideologi, yang mencetak mahasiswa menjadi pemikir, pelopor, dan pelaksana sejati. Bukan mahasiswa yang gemar aksi tapi gagal memahami substansi. Kita rindu negara berideologi, yang mencetak pemimpin rakyat bukan koloni. Negara dengan masyarakat berjuta warna tetapi tetap satu, Indonesia. Negara yang terus berjuang untuk melunasi janji kemerdekaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun