Bagi seorang anak bupati seperti Minke, mendapat kesempatan sampai HBS adalah hal yang tidak terlalu istimewa. Toh, dia memang orang cerdas sejak kecil. Menjadi kaum intelektual bagi dia mungkin sudah menjadi fitrah yang tidak bisa ditolak. Keluarganya juga sudah biasa bergaul dengan para bangsawan Belanda dan priayi Jawa. Singkatnya, Minke adalah lelaki sangat beruntung di jamannya. Sementara di sisi lain Hindia Belanda, jutaan pemuda seusia Minke tak tau cara menulis namanya. Jangankan sekolah, sekedar menikmati hasil bumi dari sawahnya saja harus dengan izin tentara. Belum lagi kerja rodi yang terus menghantui. Itu saja? Tidak! Mereka harus berhadapan dengan bangsanya sendiri, para tuan tanah yang jadi antek kompeni. Dan sampailah mereka pada suatu kesimpulan, bahwa hidup hanya menjalani nasib, dan merdeka adalah kata yang sama sekali tak pernah mampir sampai mereka mati. Beruntunglah bagi seorang Minke, setelah lulus sekolah, dia tinggal dengan mertuanya, Nyai Ontosoroh, pribumi yang menjadi selir saudagar Belanda. Nyai inilah yang menjadi guru kehidupan baginya, yang menyadarkan dia bahwa ada sisi gelap dari Hindia Belanda. Minke adalah produk pendidikan Belanda, yang membuatnya menjadi warga terhormat, namun disadari atau tidak, pendidikan dia itulah yang membuatnya lupa, bahwa dia adalah bagian dari bangsanya. Inilah produk politik balas budi kompeni. Balas budi? Saya menyebutnya balas budi setengah hati. Mencerdaskan kaum elite, hanya sebagai lipstik dan dijadikan hamba penjajah, namun malah memperlebar jurang kesenjangan. Dan itulah kenapa kita betah dijajah selama tiga setengah abad. Cerita dari novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer tersebut cukup gamblang menggambarkan, bahwa pendidikan yang salah, justru membuat kita semakin terjajah. Tentu ini karena ada kepentingan, hegemoni Belanda yang harus dipertahankan bahkan sampai akhir jaman. Bisa kita bayangkan jika pendidikan sebagai politik balas budi Belanda dijalankan sepenuh hati. Justru Belanda yang akan terusir dari bumi pertiwi, karena pendidikan yang sesungguhnya tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga harus memerdekakan. Dan semangat memerdekakan akan timbul jika ada perasaan senasib sepenanggungan dan kesadaran yang penuh, bahwa kita adalah bagian dari bangsa. Saat ini, tidak ada lagi penjajah. Kita sudah lama merdeka tentu saja, namun ternyata pendidikan juga belum membuat kita semua merasakan kemerdekaan itu. Jika kita lihat, jumlah sekolah sudah berpuluh, beratus, atau bahkan beribu kali lipat dari jumlah sekolah jaman Belanda. Jumlah sarjana di Indonesia saat ini jauh lebih banyak dari lulusan SMA jaman Belanda, tetapi, kenapa semakin banyak pula rakyat yang belum merdeka? Apakah benar-benar tidak ada kesadaran dari orang-orang pintar di negeri ini bahwa tugas mereka belum selesai ketika mereka lulus dan menjadi kaya? Ya, mereka juga harus melunasi janji kemerdekaan republik ini, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan ternyata, semangat ini yang hilang (atau sengaja dihilangkan) dari pendidikan yang selama ini kita jalani, kurang ditanamkannya kesadaran, bahwa mereka hadir untuk menjadi solusi bagi berjuta persoaalan negeri ini. Mengutip kata Bapak Anies Baswedan, bahwa mencerdaskan adalah tugas setiap orang terdidik. Dan sekali lagi, hal itu dimulai dengan kondisi, bahwa kaum terdidik harus paham dan sadar betul bahwa rakyat membutuhkan kita, kaum-kaum terdidik. Miris melihat mahasiswa saat ini yang lebih suka pesta dan hura-hura. Terbiasa hidup nyaman di tengah keluarga, dan hanya bisa menghabiskan kekayaan orang tua. Menghabiskan? Tidak sepenuhnya benar, karena masih banyak orang-orang di negeri ini yang hartanya tak habis dihitung berbulan-bulan. Belum lagi kenakalan remaja yang semakin membumi, seakan sudah menjadi tren masa kini. Padahal, jika disadari, ada jutaan kawan mereka yang tak mampu sekolah karena biaya yang tinggi. Bagi mereka yang beruntung, menjadi orang pintar, kuliah di perguruan tinggi yang bagus, dan diterima di perusahaan asing dengan gaji puluahan juta, kemudian tenggelam dengan rutinitas, seakan ideologi yang mereka bangun selama di kampus, hanya sebatas romantisme yang gampang sekali pupus. Lihat saja sekarang Jakarta yang penuh sesak. Mobil-mobil tiap tahun bertambah banyak. Pembangunan gedung bertingkat dan apartemen bertambah pesat. Orang hilir mudik menggunakan gadget elektronik beaneka rupa yang saya sendiri tak tahu entah itu apa. Padahal, tak jauh dari pemandangan itu seorang anak yang mengais sampah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Belum lagi jika kita melihat bagaimana nasib saudara-saudara kita yang tinggal di tepi timur negeri. Bagaimana bisa negeri dikatakan merdeka jika pendidikan tidak mampu menjadi solusi bagi kesenjangan yang luar biasa? Saat ini, kita butuh pendidikan yang mampu menyadarkan kita bahwa orang disamping kita adalah tanggung jawab kita. Kita butuh semangat untuk kemajuan kolektif, yang tidak hanya mendidik manusia untuk individualis dan apatis. Kita juga butuh pendidikan yang mengajarkan kita, bahwa nilai keberhasilan seseorang juga dilihat dari seberapa besar kemanfaatan yang bisa dia berikan. Dan di sekolahlah semua semangat itu bisa disalurkan. Sehingga sekolah bukan hanya tempat untuk mengajar, tetapi juga sebagai wahana untuk mengasah kepedulian dan memerdekakan. Maju terus pendidikan Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H