Mohon tunggu...
hermanjoyo
hermanjoyo Mohon Tunggu... Guru -

Pendidik & Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Sebagai Character Building

1 Juli 2011   08:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:01 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Knowledge is power, but character is more. Demikian bunyi sebuah iklan yang pernah muncul di suatu media cetak. Meskipun saya yakin iklan tersebut seperti kebanyakan iklan-iklan yang lain, lebih dimaksudkan untuk membuat orang tertarik dan pada akhirnya mengkonsumsi produk yang diiklankan tersebut. Tapi lepas dari itu, iklan tersebut seolah mau mengingatkan, betapapun pentingnya pengetahuan, tapi lebih utama dari itu adalah karakter.

Pesan iklan tersebut jika diletakkan dalam konteks pendidikan, seolah mau mengolok praksis pendidikan yang terjadi selama ini. Harus diakui, pendidikan dewasa ini seolah telah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Pendidikan lebih merupakan transfer of knowledge daripada character building. Pendidikan lebih cenderung menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, daripada sebagai pembentukan karakter.


Krisis Karakter

Krisis

“Malu (Aku) jadi orang Indonesia”. Judul sajak Taufik Ismail tersebut mungkin cukup mewakili ungkapan hati banyak masyarakat Indonesia. Dewasa ini kebanggaan sebagai orang Indonesia cenderung kian meluntur. Tentu bukan tanpa alasan kalau sebagian besar orang merasa tidak lagi memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia. Apa yang masih bisa dibanggakan dari negara juara korupsi? Apa yang masih bisa dibanggakan dari pemimpin dan elite politik, yang tidak lebih sekedar badut-badut yang menari dan saling menyikut di atas kursi yang disunggi berjuta rakyat melarat? Panggung politik adalah hiburan mengenaskan aktor-aktor politisi yang berebut kursi, dengan aktingnya yang sempoyongan sebab mabuk kekuasaan. Orang yang tergusur semakin tak terkira, para korban banjir, tanah longsor, gempa dan bencana alam lain merintih tanpa suara, sebab sekeras apapun jeritannya takkan pernah terdengar di telinga penguasa. Hati nurani dan nilai-nilai kemanusiaan telah menguap entah kemana. Krisis multi dimensi yang perlahan tapi pasti menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa-negara, seolah telah melumpuhkan dan mendorong bangsa ini menuju ke jurang kehancuran. Membuat bangsa ini tidak lagi mampu berjalan tegak dengan harga diri, seolah telah kehilangan karakter.

Sementara, tuan-tuan muda dan noni-noni cantik hidup dalam bayang-bayang gemerlap dunia yang penuh warna-warni, melayang tanpa dasar pijakan, dimabukkan iklan yang menawarkan identitas semu. Konsumtif dan hedonistis adalah perilaku sehari-hari mencecap kenikmatan yang disuguhkan ekonomi kapitalis. Serbuan globalisasi yang tak terelakkan telah membawa nilai-nilai baru yang kadangkala tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai, norma-norma sosial-budaya lokal, menyebabkan mereka kehilangan orientasi. Untuk masa sekarang kiranya cukup sulit menemukan remaja yang memiliki karakter pribadi yang kuat, memiliki kemandirian berpikir, mampu bersikap. Sebaliknya, banyak remaja dengan sifat ketergantungan yang begitu besar, tidak mampu bertanggungjawab secara penuh, mudah terpengaruh, dan tidak memiliki kemandirian sikap maupun pikir. Seringkali apa yang dilakukannya tidak memiliki dampak apapun, baik dampak sosial, politik, bahkan sekedar dampak positip bagi dirinya sendiri.

Dan anak-anak terpenjara di tempat-tempat penitipan anak atau pada sekolah-sekolah yang mengabdikan diri sebagai pengganti peran orangtua untuk mengasuh mereka sepanjang hari. Orangtua menggadaikan perjumpaan dan kasih sayang terhadap anak, dan menggantikannya dengan materi kebendaan. Mereka membanting tulang siang-malam, demi menumpuk harta materi. Seolah ketika semua kebutuhan materi sang anak terpenuhi, maka semuanya beres. Anak-anakpun kehilangan figur panutan, hanya bisa meneladan pada tokoh-tokoh ciptaan film animasi yang khayal. Kita tidak bisa berharap banyak tentang masa depan yang lebih baik, jika sebagian besar anak Indonesia dibiarkan tumbuh dalam situasi demikian.

Pendidikan sebagai character building

Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya republik ini kiranya relevan dan kontekstual untuk diangkat kembali di tengah carut-marut akibat berbagai krisis yang menimpa negeri ini. Pembentukan karakter diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berdiri tegak dan berjalan menatap ke depan dengan langkah mantap penuh harga diri. Meskipun hal itu juga tidak dapat dilakukan semudah membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan proses dan waktu yang cukup panjang.

Dan salah satu media yang kiranya cukup efektif bagi upaya pembentukan karakter adalah pendidikan. Dinamika aksi–evaluasi–refleksi dalam proses pendidikan, jika dilakukan secara konsisten sangat memungkinkan bagi upaya pembentukan karakter dan kepribadian. Proses pendidikan selain diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, lewat dinamikanya tersebut dapat menjadi ruang bagi peserta didik untuk memaknai pengalaman dan menemukan nilai-nilai hidup, yang apabila dilakukan secara terus menerus dan setiapkali selalu ditegaskan kembali, pada akhirnya akan dapat mengkristal dalam diri peserta didik dan dengan sendirinya dapat membentuk karakter yang tercermin dalam sikap dan perilakunya.

Pembentukan karakter melalui pendidikan mendesak untuk dilakukan. Bahkan lebih dari itu, pembentukan karakter mutlak menjadi kandungan utama dalam praksis pendidikan di negeri ini. Bahwa pendidikan tidak hanya sekedar berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga diarahkan pada penanaman nilai-nilai yang akan membentuk karakter dan kepribadian. Sebab pengetahuan tanpa dilandasi dengan karakter, tidak akan pernah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kemaslahatan banyak orang. Pengetahuan yang meninggalkan dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai etika; akhlak, budi pekerti, moral, hanya akan lebih banyak menyengsarakan orang dan melukai rasa kemanusiaan. Ada banyak contoh kasus dalam kehidupan bermasyarakat kita, bagaimana pengetahuan yang tidak dilandasi akhlak-moral digunakan untuk membodohi banyak orang, melulu ditujukan demi kepentingan dan keuntungan pribadi.

Penanaman nilai sebagai upaya pembentukan karakter kiranya juga tidak cukup hanya dilakukan melalui pendidikan (sekolah) saja, tapi juga harus disemaikan dan terus dipupuk di dalam kehidupan keluarga dan di tengah masyarakat. Sebab kerapkali yang terjadi, nilai-nilai yang telah disemaikan melalui pendidikan di sekolah, ternyata berbenturan dan kontradiksi dengan yang berlaku di dalam keluarga atau di tengah masyarakat. Bukan karena nilai-nilai tersebut tidak utomo, tapi sebab nilai itu telah diabaikan di keluarga atau di masyarakat. Keluarga bagaimanapun merupakan lingkungan pendidikan dan pembentukan karakter yang pertama dan utama. Sementara masyarakat sebagai tempat berinteraksi bagi banyak orang memegang pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan karakter. Lingkungan masyarakat dengan segala sistem nilai yang berlaku, bagaimanapun juga akan mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakatnya secara keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan sinergi antara pendidikan formal di sekolah, keluarga dan masyarakat, sehingga upaya pembentukan karakter dapat berlangsung secara optimal.

Kiranya bukan tanpa alasan jika para founding father bangsa menekankan pentingnya character building pada awal terbentuknya republik ini. Sebab untuk membangun suatu bangsa-negara, memang dibutuhkan sosok-sosok yang berkarakter kuat. Sejarah telah mencatat ketangguhan, komitmen dan jiwa mulia sosok-sosok berkarakter tersebut bagi peletakan pondasi demi mendasari tegaknya negara republik ini. Dan mungkin hanya pemimpin-pemimpin yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuatlah, yang mampu mengantar bangsa ini kembali bangkit dari keterpurukan akibat krisis multi dimensional. Sayangnya, untuk saat sekarang mungkin kita tidak cukup banyak memiliki pemimpin dan elite politik yang berkarakter dan berkepribadian kuat, bernurani, memiliki harga diri, berjiwa besar, dan tidak mudah dibeli. Mungkin bangsa ini masih harus menunggu agar dapat bangkit dan keluar dari jerat krisis. Kecuali, jika momentum pemilu mendatang benar-benar dapat dimanfaatkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang sungguh berkarakter. Semoga kita masih bisa menemukannya.@



HJ. Sriyanto

Pendidik tinggal di Yogyakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun