Belakang ini banyak yang membahas bahkan mengkritik OMNIBUS LAW atau disebut Rancangan undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU CILAKA) yang di rekomendasikan pemerintah kepada DPR RI agar di sah kan yang disampaikan pada pidato Presiden Joko Widodo saat pelantikan.Â
OMNIBUS LAW acap kali menjadi bahan perdiskusian bahkan sampai kepada aksi penolakan dari beberapa kalangan. Gelombang protes yang dilakukan beberapa kalangan untuk menolak OMNIBUS LAW terus meningkat mulai dari Serikat Buruh, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Akademisi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Akademisi, Mahasiswa, dan Lembaga-lembaga lainnya.
Dalam OMNIBUS LAW ada banyak Undang-undang yang termuat didalamnya, termaksud Undang-undang yang membahas tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, sepertinya OMNIBUS LAW yang membahas tentang Pendidikan dan Kebudayaan tidak begitu seksi untuk dibahas, sebab tidak ada yang melakukan protes atau bahkan menolak tentang hal tersebut, terutama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Guru Indonesia (IGI), para Dosen serta Para pengiat pendidikan dan literasi.
Pada hal, dalam OMNIBUS LAW ada beberapa hal yang semestinya harus kita pandang serius dalam pendidikan. Sebab pendidikan di Indonesia saat ini harus benar-benar diperhatikan dan ini luput dari pantauan dan kritikan akan OMNIBUS LAW saat ini.
Dalam OMNIBUS LAW pada paragraf ke 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru
beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
e. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan dan
f. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ada tiga pasal di hapus, yaitu Pasal 67, pasal 68 dan pasal 69 yang membahas tentang ketentuan Pidana bagi perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberi, yang membantu dan yang menggunakan ijazah, sertifikasi kompetensi,  gelar akademik, profesi, dan/atau akvokasi tanpa hak, tidak memenuhi syarat, dan terbukti palsu akan di pidana penjara paling lama 5 tahun  dan 10 tahun dan/atau pidana denda 500 juta rupiah dan 1 milyar rupiah.
 Tentu hal ini akan membuka lebar-lebar pintu bagi peredaran ijazah-ijazah palsu atau memang sudah tidak begitu penting lagikah legalitas dari ijazah di Republik ini sehingga pemerintah menghapus ketentuan tersebut? Seperti yang di katakan oleh Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa "Saat ini, Indonesia sedang memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi. Kita memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, kita memasuki era dimana masuk kelas tidak menjamin belajar," kata Pak Nadiem saat memberikan sambutan di acara serah terima Rektor Universitas Indonesia di Depok, Rabu (4/12/2019).
Sejalan dengan hal itu OMNIBUS LAW juga menghapus Ketentuan Pidana dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 yaitu perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang melanggar pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), pasal 42 ayat (4), pasal 43 ayat (3), pasal 44 ayat (4), pasal 60 ayat (2), dan pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 Milyar rupiah.
Sedangkan dalam undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terjadi diskriminasi terhadap guru dan dosen yang lulusan dalam negeri. Dimana dalam pasal 8 guru yang lulusan luar negeri tidak wajib memiliki sertifikat pendidik sedangkan lulusan dalam negeri diwajibkan dan dalam pasal 45 dosen yang lulusan luar negeri tidak wajib memiliki sertifikat pendidik sedangkan lulusan dalam negeri diwajibkan.
Hal ini menandakan bahwa tidak adanya kepercayaan pemerintah terhadap lulusan-lulusan yang ada di Republik ini, tentu ini menggambarkan bahwa ada yang tidak baik dalam dunia pendidikan kita dan ketertinggalan pendidikan kita saat ini sehingga pemerintah merumuskan hal tersebut.
Maka dengan kesadaran tersebut dan dengan anggaran pendidikan yang diklaim 20%, pemerintah harusnya merancang Undang-undang yang tersendiri bagi Pendidikan, sebab pendidikan kita saat ini membutuhkan percepatan dan pasilitas bagi pendidikan dasar sampai tinggi, baik di Kota mau pun di desa hingga adanya pemerataan dan keseragaman dalam dunia pendidikan di Republik ini.