Masalah transportasi sebenarnya sudah ada sejak kota-kota kuno berada di muka bumi ini. Misalnya pada zaman romawi kuno, Julius Caesar sempat mengeluarkan larangan penggunaan kereta kuda di siang hari karena menyebabkan hiruk-pikuk dan kemacetan di Kota Roma. Namun pada kenyataannya hari makin hari masalah transportasi kota menjadi semakin rumit. Hampir semua kota besar di dunia berhadapan dengan masalah sistem transportasinya. Mengapa demikian?
Perlu diketahui bahwa sebuah kota adalah pusat dari seluruh wilayah di sekitarnya. Beragam kegiatan dapat dilakukan di kota, dan para pelakunya bukan hanya penduduk kota itu sendiri, namun juga orang-orang yang berasal dari sekitar kota tersebut. Fenomena ini menghasilkan 2 istilah yang sangat berhubungan dengan masalah transportasi kota, yaitu peak hour dan commuter.
Peak hour/rush hour dapat diartikan sebagai ‘jam sibuk’ yaitu waktu dimana sebagian besar penduduk kota keluardari kediaman atau tempat singgah mereka (e.g. kantor, sekolah) dan mulai ’berlalu-lalang’ di jalanan, entah menuju kantor, sekolah, pulang, atau tempat tujuan lainnya. Peak hour di kota-kota besar di Indonesia terbagi menjadi 3 periode yaitu 06.30-07.30 WIB, 12.30-13.30 WIB, dan 16.30-17.30 WIB. Walaupun tiap periode sangatlah singkat, namun kemacetan yang dihasilkan bisa berjam-jam hingga 3 kali lipat waktu peak hour itu sendiri. Ini diakibatkan banyaknya kendaraan yang memenuhi ruas jalan, terutama di daerah persimpangan.
Commuter. Istilah ini semakin dikenal di kalangan masyarakat kota. Commuter berarti ’pelaju’, mengacu kepada orang-orang yang tinggal di luar kota, atau di wilayah satelit kota yang hampir setiap hari ’melaju’ menuju ke dalam kota untuk melakukan aktivitasnya. Dengan adanya para commuter, dapat kita bayangkan betapa bertambahnya penduduk kota pada jam-jam kerja. Namun tak dapat dipungkiri lagi bahwa sebuah kota memang berdiri untuk saling menyokong dengan wilayah sekitarnya
Realita yang Terjadi
Peningkatan kendaraan pribadi sebenarnya adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan masalah transportasi kota. Jakarta makin padat pada rush hour. Dimana kendaraan para commuter memasuki Jakarta dari berbagai arah. Akibatnya kemacetan – khususnya di gerbang-gerbang tol dan persimpangan – tak dapat terelakan lagi. Selain itu, peningkatan status ekonomi juga turut berkontribusi dalam pertambahan pembelian kendaraan pribadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia (tentu karena kendaraan umum kita tidak dapat mengakomodasi demand kelas sosial masyarakat kita yang majemuk). Hal ini sangat memprihatinkan, sebab kendaraan pribadi di Jakarta terus meningkat tajam tanpa ada ”pemangkasan kendaraan tua” yang mampu mengimbanginya.
Di negara-negara maju kendaraan umum mulai lebih diutamakan daripada kendaraan pribadi. Di Jepang, penggunaan kendaraan umum terutama kereta api sangat dibiasakan sejak dini. Di Singapura, harga mobil pribadi bisa semahal harga rumah. Di Inggris, pajak parkir mobil pribadi sangatlah mahal, sebagian besar orang memiliki pengeluaran parkir yang besarnya melebihi anggaran rumah tangga mereka. Pengguna subway di Inggris Raya sendiri mencapai 2,7-3 juta orang per hari. Hal itu dilakukan pemerintah agar penggunaan kendaraan pribadi dapat ditekan. Memang benar, ada lebih banyak keuntungan bila kendaraan umum lebih dihargai dalam sebuah kota. Selain dapat mengangkut banyak massa, kendaraan umum dapat mengurangi pembelian kendaraan pribadi yang berdampak positif pada pengurangan polusi udara dan kepadatan kota. Logikanya, misalkan sebuah monorail bertenaga listrik mampu membawa 1000 orang sekaligus, bandingkan saja bila 1000 orang tersebut memilih menggunakan mobil pribadi sendiri-sendiri.
Pertambahan penduduk, bertambahnya jumlah kendaraan, statisnya perkembangan transportasi masal, dan kepadatan tambahan dari luar kota juga mempengaruhi kota secara fisik. Dibandingkan dengan vehicle density, jalan-jalan di Jakarta tidak mampu lagi menampung banyaknya kendaraan tersebut. Luas badan jalan di Jakarta dibanding luas wilayahnya pun hanya sekitar 6-8% saja. Dengan kata lain, Jakarta tidak akan pernah bebas dari yang namanya kemacetan. Beberapa solusi pun mulai dilakukan. Misalnya pembangunan jalan tol, jalan layang, rekayasa lalulintas, hingga pengembangan MRT. Meski demikian, sistem fly over dan pembagian jalan terkadang menyebabkan kemacetan dipersimpangannya, hal ini diperburuk dengan perilaku berkendara masyarakat kita yang masih kurang tertib. Bahkan di banyak titik di Jakarta, lampu merah yang dinyalakan selama lebih dari 130 detik pun belum tentu mengosongkan titik persimpangan. Akibatnya, kemacetan tak terbendung di sekitar persimpangan.
Area Metropolitan (Kota Induk dengan Beberapa Kota Satelitnya)
Khusus kasus area metropolitan, pengembangan kota-kota satelit tentu diperlukan. Bila area metropolitan memiliki distrik sentra bisnis (CBD) yang dapat menyerap aktivitas dari warganya sendiri, maka secara langsung dapat mengurangi jumlah commuter yang melaju ke kota induknya. Misalnya area Jabodetabek, ketidaksetaraan pembangunan antara Jakarta dan kota satelitnya menyebabkan Jakarta masih menjadi sasaran favorit warga kota Tangerang, Bekasi, Depok dan Bogor untuk mencari kerja, “Yang penting kerja di Jakarta, dan gaji standar Jakarta”. Bukan hanya bekerja, tetapi juga sekolah, universitas, hiburan, dan berbagai kegiatan rutin masih terpusat. Bukan salah para commuter tentunya, tetapi karena pembangunan ekonomi yang kurang merata dan terintegrasi.
A developed country is not a place where the poor have cars, it’s where the rich use public transportation - Gustavo Petro (Mayor of Bogota, Colombia)
Langkah pembangunan MRT yang dilakukan pemerintah saat ini adalah salah satu terobosan positif yang wajib kita apresiasi. Kedepannya, diharapkan pengembangan transportasi masal yang memadai seperti ini perlu dilakukan di kota-kota lain di Indonesia, daripada kondisi lalulintas kota-kota kita dibiarkan bertambah buruk. Kita harus menciptakan pandangan positif bahwa kendaraan umum demi kenyamanan ruang kota bersama, tentunya hal ini harus dibarengi dengan kendaraan umum yanglayak, nyaman dan "tidak terkesan menyeramkan" sehingga mampu menjadi ‘melting pot’ masyarakat kita dari berbagai kelas sosial yang berbeda. (hiz)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H