Mohon tunggu...
Hiza Ro
Hiza Ro Mohon Tunggu... -

Simple & Original. Menyukai apa saja terutama ART's.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Negeri Kerupuk?

5 Oktober 2011   21:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika setiap orang menyantap mie instan 'rasa kari ayam', aku memilih mencampur nasi putih 'raja lele' dengan irisan ayam goreng dan kuah soto sapi. Tidak lupa diatasnya kutabur rata bawang goreng 'asli' hasil irisanku. Tak lama kemudian kucumbui sarapan pagi itu dengan lahap dan aroma lezat. Setelahnya, kuseduh teh tubruk dengan air panas hasil menimba sumurku yang jernih. Ahh, nikmatnya... semua santapan berhasil 'mendarat' di perutku dengan akur hingga beberapa saat kemudian, energiku kembali terisi secara 'benar'.

Gambaran diatas adalah keadaan ideal yang berusaha saya penuhi hampir setiap hari. Sebuah sarapan yang dimasak sendiri dan berbahan dasar pilihan. Saya hanya ingin memastikan bahwa asupan gizi dan ritual makan saya terpenuhi dengan baik. Berusaha memenuhi panggilan perut dengan makanan 'original' dari alam Indonesia. Bukan dari sebuah keajaiban yang dikenal dengan 'instanisasi'. ------------------ [caption id="attachment_139770" align="alignnone" width="550" caption="Kerupuk dan lodongnya"][/caption] Ya. Setiap hari kita diberondong media untuk mengkonsumsi sesuatu yang instan. Mulai dari makanan, peralatan, alat perkantoran, hingga teknologi. Khusus untuk makanan akan saya bahas lebih banyak. Kita tenggelam akan budaya instan yang 'dicap' kapitalisme sebagai sebuah budaya populer 'wajib' (jika ingin dinilai sebagai masyarakat modern). Perkara siapa yang menilai mungkin tidak terlalu penting. Hari-hari kita selalu disibukkan dengan urusan mengejar waktu, entah itu pekerjaan, kuliah, deadline, urusan bisnis, janji, dll. Maka untuk urusan makanan pun terpaksa instan. Kecenderungan manusia untuk konsumtif lebih besar. Maka tak heran jika kita mengganti nasi dengan mie instan, kopi/teh tubruk dengan teh celup, air jeruk dengan 'jeruk' kemasan+pemanis buatan, Nasi goreng ayam diganti dengan nasi+bumbu nasi goreng 'rasa kari ayam', dan masih banyak lagi. Tidak salah memang. Siapa saja bebas untuk membeli makanan kesukaannya, termasuk makanan instan. Saya mencoba berpikir berkelanjutan, namun bukan menyoal kesehatan. Bukan kapasitasnya. Hanya berpikir sederhana, mempertanyakan originalitas sebuah produk instan. Apakah benar jus jeruk kemasan benar-benar terbuat dari sari jeruk asli? Apakah benar rasa kari ayam mie instan berbahan ayam? Kopi terbuat dari bubuk kopi asli dan bukan kopi jadi-jadian? Mungkin saya hanya bisa memprediksi jika produk tersebut memang terbuat dari bahan 'asli', hanya saja kadarnya yang perlu dipertanyakan. Jika sudah demikian, apakah kita sudah benar-benar menikmati hak atas kekayaan alam kita? Kemanakah hasil bumi terbaik yang seharusnya menjadi bagian kita?  Hmmm...dalam jangka panjang saya memprediksi akan terjadi sebuah kebiasaan baru yang akhirnya menjadi makanan pokok masyarakat kita. Bisa jadi pula akan mempengaruhi gizi lalu kecerdasan generasi. Bisa dibanyangkan kualitas pemimpin masa depan? Tak ubahnya kerupuk, makanan yang kita konsumsi terlihat bervolume dan bersuara nyaring tetapi TIDAK bergizi. Fatal! *pikiran-pikiran menunggu sarapan ;)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun