Hari minggu, 8 Oktober 2017, penulis memenuhi undangan salah satu himpunan kemahasiswaan kampus dengan kapasitas sebagai alumni. Mereka mengadakan kegiatan silaturrahmi antara mahasiswa baru, senior, dan alumni. Kegiatan ini dilakukan di pantai yang dikelilingi oleh dua gunung di sisi kiri dan kanan.Â
Sehingga terlihat dua garis pantai yang berbeda terdiri dari tebing yang terjal dan hamparan pasir. Â Kombinasi dua jenis garis pantai ini dan suara ombak yang khas membuat undangan ini susah untuk dilewatkan begitu saja, selain juga ikatan moral terhadap almamater. Siang itu cuaca di pantai berawan dan mendung membuat suasana sejuk, ditambah dengan deru angin dan suara ombak menjadi pelengkap keindahan salah satu bentuk geografis di bumi ini.
Kegiatan ini menjadi agenda tahunan dari setiap himpunan mahasiswa ketika para mahasiswa baru (maba) berada di kampus kurang dari sebulan. Jika Kampus itu diibaratkan sebagai sebuah negara maju, maka maba ini adalah para imigran dari negara berkembang yang baru saja diberikan status kewarganegaraannya di Negara Kampus setelah melewati serangkaian tes potensi akademik yang sesuai dengan standar penduduk Negara Kampus. Para maba ini datang dari berbagai negara berkembang dengan latar belakang sosial, norma, dan nilai kehidupan yang berbeda-beda. Tidak mengherankan jika dalam diri mereka masih melekat kental rasa ke-aku-an dan ke-kamu-an.
Disinilah organisasi kemahasiswaan berperan penting sebagai 'madrasatul ula' (institusi pendidikan awal)Â bagi para maba ini agar rasa ke-aku-an dan ke-kamu-an melebur menjadi KITA. Para maba ini sedini mungkin harus ditanamkan rasa kebersamaan sesama mereka, menghormati yang lebih tua, dan meyayangi yang muda. Di Kampus mereka harus membuang rasa ke-aku-an dan ke-kamu-an untuk dapat bekerja sama dalam proses pengembangan diri untuk mencapai tujuan menjadi manusia intelektual.
Tidak ada sistem perangkingan di Kampus. Memang diakhir semester para warga di Kampus diukur dengan Indeks Prestasi A, B, C, D, E. tetapi konsep indeks prestasi ini tidak sama seperti sistem perangkingan di dunia mereka sebelumnya. Ketika seseorang mendapatkan B, itu bukan karena dia telah kalah dalam kompetisi dengan temannya yang mendapatkan A. Begitu juga sebaliknya, jika ada yang mendapatkan A itu bukan karena dia telah memenangkan kompetisi dengan temannya yang mendapatkan B. Satu-satunya kompetisi yang ada di Kampus adalah kompetisi dengan dirinya sendiri. Tolak ukur seseorang memenangkan kompetisi di Kampus jika dia yang hari ini bisa menjadi lebih baik dari yang kemarin dalam menjalani proses pendidikan.
Kegiatan silaturrahmi ini biasa kita kenal dengan OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Seiring dengan berjalannya waktu, konsep OSPEK ini mulai berubah. Karena prinsip dan teknis pelaksanaan OSPEK gaya lama sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. OSPEK gaya lama dianggap rentan ditunggangi oleh aktifitas pelonco senior terhadap junior, sehingga OSPEK versi lama harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kekampusan dan peri kemahasiswaan.
![Dokumen pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/14/p-20171008-144138-59e1ff0248693266e23723d2.jpg?t=o&v=770)
![Indahnya hidup di Negeri Syariat, melaksanakan kegiatan tanpa harus melewatkan kewajiban](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/10/14/p-20171008-140133-59e1ff2a88fc8d709c1b3442.jpg?t=o&v=770)
Dalam model pembelajaran sekarang, Guru dituntut untuk bisa merancang model pembelajaran yang bisa memberikan pengalaman belajar bagi siswanya, agar siswa memiliki kemampuan untuk berpikir kritis dalam menganalisa dan mensintesis informasi yang didapat untuk dijadikan sebagai sebuah pengalaman dan ilmu baru.Â
Siswa juga diberikan stimulus-stimulus situasi tertentu agar bisa melatih mereka untuk melakukan pemecahan masalah sehingga nantinya tercipta sebuah pengalaman belajar yang bermanfaat dan sesuai dengan kehidupan nyata mereka.Â
Sedangkan dalam perkembangan OSPEK, model yang sekarang cenderung mundur ke belakang mengikuti gaya pembelajaran dulu dengan metode ceramah, para mahasiswa dikumpulkan dalam ruangan, lalu duduk manis mendengar arahan-arahan dari seniornya sebagai pemateri sambil sesekali mencatat sesuatu apa yang mereka anggap penting atau kadang-kadang mencatat semua apa yang disampaikan oleh pemateri.
Berbeda dengan OSPEK yang sering dipraktikkan selama ini, OSPEK gaya lama menginginkan model penyampaian lewat pemberian pengalaman secara lansung terhadap juniornya agar pengalaman tersebut menjadi pelajaran dan digunakan sebagai pengetahuan untuk menjalani kehidupan di dunia kampus. Thefounding fathers OSPEK gaya lama percaya bahwa para maba akan menguasai skill untuk survive di dunia kampus jika mereka digembleng dengan intensif selama 5-7 hari pada awal kehidupan menjalani hidup sebagai mahasiswa.Â