Menjadi headline beberapa media beberapa waktu lalu, prostitusi menjadi satu pilihan kata yang menarik. Menjadi topik hangat yang memanjakan imajinasi. Beberapa fakta imajiner yang diciptakan sungguh membuai sang pemikir sembari tersenyum geli.
Jika kita mau jujur, prostitusi bukanlah masalah baru. Justru, ini merupakan satu sisi bangsa. Komunitas bawah tanah yang menggoyang suasana kaku diantara obrolan. Lalu, apa kita harus terkaget - kaget ketika ini diblow up sejumlah media? Saya rasa, itu bukan pilihan sikap yang tepat.
Dengan pemberitaan besar - besaran, bisnis yang terkenal di kalangan pria ini menjadi aib yang mencuat tanpa ada rem, bahkan sejumlah pria juga meringis melihatnya. Mereka menyadari ini.
Namun, yang menjadi sorotan adalah tingginya harga yang harus dikeluarkan sang penikmat. Mencapai ratusan juta rupiah, hanya untuk kepuasan biologis. Hal yang mencengangkan.
Banyak yang mengkerucutkan masalah pada "siapa penikmat jasa ini", jika melihat dari dalamnya kocek yang harus dirogoh.
Banyak yg beranggapan jika pengusaha dan pejabat adalah segmentasi pasarnya. Pertimbangannya, mereka yang mampu membayar dengan harga itu. Ada juga pernyataan sang pelaku yang mengatakan jika mereka sering melayani om - om berbaju safari.
Inilah fenomena yang harus dihadapi bangsa ini. Undang Undang yang lemah pada kasus ini merupakan celah lebar mereka yang ternyata menjadi pelanggan tetap.
Lalu muncul pertanyaan, "Seberapa besar kebutuhan bangsa ini kepada bisnis prostitusi?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H