Mohon tunggu...
Hisyam ChamidBararau
Hisyam ChamidBararau Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggugat Aktivisme Kampus dalam Konteks Karang Taruna

18 Agustus 2024   23:20 Diperbarui: 19 Agustus 2024   00:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aktivisme mahasiswa sering kali menjadi sorotan karena peran penting mereka sebagai agen perubahan di masyarakat. Dengan suara lantang dan visi besar, mahasiswa sering mengangkat isu-isu sosial, politik, dan ekonomi yang dirasa penting untuk diperjuangkan. Namun, sering kali muncul kritik mengenai kesenjangan antara retorika yang mereka sampaikan di kampus dengan tindakan nyata di lingkungan sekitar, seperti Karang Taruna di desa. Fenomena ini menggambarkan suatu paradoks dalam aktivisme mahasiswa yang perlu dikaji lebih dalam.

Mahasiswa sering kali berada di garis depan dalam memperjuangkan perubahan sosial. Mereka memanfaatkan berbagai platform di kampus untuk menyuarakan isu-isu yang mereka anggap penting, mulai dari ketidakadilan sosial, ekonomi, hingga isu-isu lingkungan. Mereka menjadi orator ulung yang mampu memobilisasi massa untuk turun ke jalan, melakukan demonstrasi, dan menuntut perubahan. Di kampus, mereka adalah pejuang yang tak kenal lelah, menggunakan diskusi dan debat sebagai senjata untuk menyuarakan kebenaran.

Namun, aktivisme ini sering kali terbatas pada ruang lingkup kampus dan kota besar, sehingga tidak semua mahasiswa yang vokal di kampus juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di desa mereka, seperti Karang Taruna. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana komitmen mereka terhadap perjuangan yang mereka gembar-gemborkan.

Karang Taruna merupakan organisasi kepemudaan di tingkat desa yang berfungsi sebagai wadah untuk mengembangkan potensi dan kreativitas pemuda dalam kegiatan sosial. Di sini, para pemuda berinteraksi langsung dengan masyarakat, memahami kebutuhan dan permasalahan yang ada, serta berusaha mencari solusi bersama. Keterlibatan dalam Karang Taruna adalah bentuk nyata dari kontribusi sosial di tingkat akar rumput, di mana perubahan kecil tapi signifikan dapat dilakukan.

Namun, tidak semua mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kampus juga menunjukkan komitmen yang sama di desa mereka. Meskipun mereka kerap berbicara tentang pentingnya pemberdayaan masyarakat, ketika dihadapkan pada kesempatan untuk terjun langsung melalui Karang Taruna, banyak yang justru absen. Mereka seolah lupa bahwa perjuangan sosial tidak hanya tentang orasi dan diskusi di kampus, tetapi juga tentang tindakan nyata di lapangan.

Kesenjangan antara retorika aktivis kampus dengan tindakan nyata di Karang Taruna ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah aktivisme kampus hanya sebatas pencitraan, ataukah benar-benar didasari oleh keinginan tulus untuk membawa perubahan? 

Mahasiswa yang hanya koar-koar di kampus tanpa terlibat aktif di Karang Taruna dapat dianggap kehilangan kesempatan untuk memahami dan merasakan langsung permasalahan sosial yang sebenarnya. Mereka mungkin pintar berbicara tentang teori perubahan sosial, tetapi tanpa pengalaman lapangan, pemahaman mereka tentang isu-isu tersebut bisa jadi dangkal. 

Sebaliknya, mahasiswa yang terlibat langsung di Karang Taruna akan mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang kondisi nyata masyarakat. Mereka belajar untuk tidak hanya berbicara, tetapi juga berbuat. Di sini, kemampuan mereka diuji bukan hanya dalam hal retorika, tetapi juga dalam hal kemampuan memecahkan masalah yang nyata.

Untuk menjadi agen perubahan yang sesungguhnya, mahasiswa perlu membangun jembatan antara retorika mereka di kampus dengan tindakan nyata di masyarakat, termasuk di Karang Taruna. Aktivisme tidak boleh hanya berhenti pada kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang berdampak langsung pada masyarakat.

Sebagai aktivis, mahasiswa harus memiliki kesadaran bahwa perjuangan sosial membutuhkan lebih dari sekadar wacana. Mereka harus bersedia turun ke lapangan, merasakan langsung apa yang dirasakan oleh masyarakat, dan bekerja bersama mereka untuk mencari solusi. Dengan demikian, aktivisme kampus tidak akan menjadi sekadar retorika kosong, tetapi akan menjadi kekuatan nyata yang mendorong perubahan di tengah masyarakat.

Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki tanggung jawab untuk menjembatani antara retorika di kampus dan aksi nyata di masyarakat. Terlibat aktif di Karang Taruna adalah salah satu cara untuk mewujudkan komitmen mereka terhadap perubahan sosial yang lebih luas. Tanpa tindakan nyata, perjuangan sosial hanya akan menjadi kata-kata tanpa makna. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk mengintegrasikan perjuangan mereka di kampus dengan aksi nyata di desa, agar perubahan yang mereka inginkan benar-benar dapat terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun