Pada masa dimana sistem kerajaan masih banyak berkuasa di bumi Neris, sekitar tahun rimba 505. Tersebutlahkerajaan yang besar dan kuat di Kota Tarkora dengan keempat panglima perangnya yang terhebat. Kerajaan Auria dipimpin Raja Awari yang baru diangkat lima tahun lalu.
Raja Awari sangat menggemari tontonan pertarungan. Oleh karena itu, setelah dilantik, Raja langsung mengadakanturnamen pertarungan di Istana. Turnamen itu dinamai Sharika dan dihelat setiap tahun. Sebagai penghargaan, pemenang Sharika mendapatkan jabatan ksatria yang setara dengan panglima perang di istana. Juga ditambah gelar sharika di depan nama orang itu. Gelar Sharika sangat prestisius, tak hanya mendapat emas yang melimpah, namun, juga mendapat akses menuju taman Lazarus.
Taman Lazarus adalah taman permainan eksklusif yang dipenuhi dengan gadis-gadis yang masih muda, menawan, dan cantik jelita. Juara Sharika juga mendapat coil (kediaman mewah dalam istana) dan merupakan kehormatan yang tinggi berada satu kompleks dengan Raja.
Ribuan petarung dari berbagai kota mengikuti seleksi. Sebagai rintangan dan hak istimewa. Di babak perempat final, tersedia slot bagi ke empat panglima perang untuk melawan para petarung yang lolos sampai dibabak itu. Selama 5 tahun Sharika dihelat, tak ada satupun petarung diluar kerajaan yang mampu merebut gelar kehormatan itu dari panglima besar dan wakil panglima.
Panglima Besar, Sharika Eriki Karkarin, Dikenal sebagai pria yang menjaga penampilan. Dengan rambut selalu basah dan rapi, begitu pula di sekujur tubuhnya tak ada bulu. Panglima Besar, Sharika Eriki Karkarin cukup mudah dikenali dengan tubuhnya yang bersih dengan jubah karet logam yang berkilau. Ia juga menjadi Panglima yang paling terkenal di Kota Tarkora dengan otot tubuh yang kekar dan berwibawa sehingga banyak sekali penggemar, gadis, dan prajuritnya mencapai ribuan. Perbandingan yang terbalik dibanding dengan panglima ke empat yang hanya mempunyai prajurit 10.
Panglima ke empat, Awan Nuawari berbedajauh dari Eriki Karkarin, Dirinya adalah seorang Panglima yang sejauh ini tak pernah muncul di medan peperangan. Dalam setiap pertarungan, dirinya mengandalkan prajuritnya dan jarang turun tangan sendiri. Ia juga menjadi Panglima yang malas mengerjakan aktivitaskerajaan. Di dalam coil panglimanya, jarang sekali nampak aktivitas latihan para prajurit. Dirinya juga paling sering tertidur di berbagai tempat yang tak lazim sehingga mendapat julukan Panglima Pemalas. Dengan rambut berantakan dan penampilan seadanya, Ia terlihat sedikit lusuh dengan jubah kainnya, Bahkan tak terlihat seperti sosok Panglima. Namun, Panglima Awan juga dikenal sebagai seorang yang mampu menenangkan situasi brutal di luar kendali.
Kehadiran dirinya di beberapa tempat memberi ketakutan tersendiri bagi warga kerajaan Auria di kota Tarkora. Isu yang beredar dirinya mempunyai kekuatan mistis layaknya penyihir namun hal itu masih belum bisa dipastikan. Padahal, peraturan Kerajaan Auria menolak kehadiran berbagai kekuatan sihir. Walau begitu, Raja Awari tak pernah memarahi ataupun menghukum dirinya.
Ia dibiarkan bebas melakukan apapun di coil panglimanya. Entah mengapa Raja melindungi panglima ini. Penunjukan Panglima Awan Nuawari oleh Raja dianggap tak adil para penasehat kerajaan karena ketiga panglima lain mendapat posisinya sesuai dengan persyaratan kerajaan. Raja tak bisa memberi alasan pasti mengapa memilih Awan menjadi panglima ke empatnya. Ia hanya bisa mengatakan kalau Awan adalah orang yang baik. Alasan yang tidak memenuhi kriteria standar Kerajaan.
Tak hanya itu,bahkan tak semua prajurit Panglima Awan menaruh respek terhadapnya. Hal ini membuktikan adakekuatan yang membuat sang raja menaruh kepercayaan tinggi terhadap Panglima ke empat. Raja tetap melanjutkan era kepemimpinannya meski tidak dalam kondisi sepenuhnya didukung oleh penasehat kerajaan.
Tahun rimba 505. Sekitar dua minggu setelah Sharika ke lima dihelat,setiap kepemimpinan panglima mengadakan perekrutan prajurit. Serapan paling dominan masih di coil Panglima Sharika Eriki Karkarin. Banyak gadis dan pria muda yang berebutan mendaftar di coil panglimanya, tak hanya untuk menjadi prajurit perang, tetapi juga untuk menjadi biduan atau selirnya. Seratus orang baru masuk ke pasukannya tahun ini.
Sementara, di tahun yang sama, hanya ada satu orang yang terdaftar mengikuti perekrutan prajurit Panglima Awan. Panglima sendiri yang melakukan perekrutan. Sementara ke sepuluh prajuritnya sibuk dengan aktivitas penjagaan kota Tarkora dan misi lain.
Satu orang itu adalah seorang gadis yang selama perekrutan di gelar,ditolak tiga coil Panglima. Siang itu, gadis itu berjalan mendekati pintu coil Panglima ke empat. Berjalan menaiki tangga sambil menenteng rok gaun coklat putih yang sedikit kebesaran. Gadis itu terhenti sebentar di tangga dan menutup satu matanya. Angin deras menerpa muka oval gadis itu. Membuat rambut sebahu bergelombangnya terhempas ke belakang “Angin?” Katanya bertanya-tanya tentang angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Tangan kanannya dengan jemari yang lentik itu mengusap-usap debu di ujung rok gaunnya setelah sampai di akhir tangga. “ Sampai juga, Panglima ke empat dimana ya?” Katanya berbicara sendiri dengan nada riang.
Ia menengok ke dalam bangunan dengan pilar-pilar besar dan lantai berdebu itu. Ia menghindari dedaunan kering dengan melompatinya. Jejak-jejak kaki kecilnya menelisik di serambi depan coil panglima ke empat. Gadis kecil itu mengambil satu batang pohon yang berserakan dengan tangan kanannya, lalu membuka pintu besar didepannya.
Ia melihat di depan meja terdapat seonggok pria dengan rambut acak-acakan tertidur di atas meja mengenakan jubah kain tebal panjang berwarna abu-abu . Gadis itu mendekati pria itu dan menyodok-nyodok bahunya dengan batang yang dia ambil tadi. “Tuan…Hey tuan?”
Pria itu bangun, menatap mata gadis di depannya yang di tangan kirinya membawa berkas dari kertas samak. Tubuh gadis ini tiba-tiba lunglai setelah menatap mata pria itu. Gadis itu hampir ambruk dan berkasnya berserakan di lantai bawah meja. Sebelum terjatuh, pria itu menahan tubuh si gadis kecil dengan menggerakkan jarinya, namun dirinya tak menyentuh gadis itu.
Gadis itu terbangun dan membuka matanya dengan tubuh miring seakan melayang hampir terjatuh, “Apa yang kau lakukan?” Gadis itu berdiri dan melompat ke belakang. Ia mengeluarkan pisau belati dari belakang gaunnya. Telapak tangannya yang menggenggam belati juga memancarkan gelombang berwarna hijau tua.
Pria itu berdiri terkejut dengan gelombang di tangan gadis itu,Ia mengambil kertas samak yang berserakan di bawah meja, membaca tulisan disana. Pria itu menatap gadis yang melangkah mundur menjauhi dirinya. “Aku panglima ke empat, Awan. Tenanglah Lotharine Shani , itu namamu kan?” Panglima Awan menoleh ke arah Shani setelah membaca kertas samak yang diambilnya.
Shani tak bergeming, Ia melangkah mundur menjauhi Panglima Awan. “Suku Lothar di selatan kota Tarkora, desa Hila, suku penyembuh?” Tanya Panglima Awan masih dengan melihat berkas Shani. Pancaran gelombang di tangan Lotharine Shani semakin memadat. “Sebelum aku menjawab, hentikan dulu sensasi aneh ini Panglima!” Kata Shani.
“Sensasi?” Mulut Panglima Awan menyeringai mendengar kata itu.Mata Shani dan Panglima Awan saling beradu pandang.Lalu gelombang berwarna hijau tua itu menghilang dari tangan Shani. Ia juga mengembalikan pisau belati ke tempat semula di pinggang belakangnya. “Kamu baru saja menonaktifkannya, Panglima Awan.”
Panglima Awan masih tersenyum menyeringai sembari memperhatikan Shani. “Kamu tidak hanya seorang penyembuh, tetapi juga pendeteksi, ya kan?”Shani mengangguk. Panglima Awan melihat lagi kertas samak tadi. “Umur 20, tinggi 4 1/2 kaki. Pantas saja kamu ditolak di coil panglima lainnya, tinggi minimal untuk menjadi prajurit itu 5 kaki, begitu pula disini.” Ujar Panglima Awan. Shani menunduk, raut wajahnya seakan mengatakan Ia masih berharap menjadi prajurit dengan tubuhnya yang pendek.
“Aku ingin menjadi prajurit Kerajaan Auria untuk membalas kebaikan Raja Awari.”
“Memang, apa yang telah dilakukan Raja kepadamu?”
“Sejak Raja Awari berkuasa, Aruna Kerajaan datang setiap bulan membawa makanan dan emas untuk desa miskin Hila.”
Panglima Awan berjalan mendekati patung di belakang meja, mengambil pedangnya, “Lalu, mengapa menjadi prajurit?” Bukankah kamu bisa menjadi bidadari di taman Lazarus, atau menjadi selirnya Raja?” Tanya Awan sembari melempar pedang di samping kaki Shani. “Karena aku seorang petarung.” Jawab Shani.
“Oh!” Awan mengambil satu pedang lagi dari patung sebelahnya. “Ambil pedang itu Shani.” Awan berlari mendekati Shina,Shina melamun memandangi pedang disamping kakinya. Ia kaget ketika Panglima Awan sudah berada sangat dekat di depannya dengan pedang bersiap menghunus perutnya. Shina berusaha menghindar ke samping sembari berusaha mengambil pedang di kakinya, tetapi terlambat. Ujung pedang Panglima Awan sudah mencapai kulit perut Shina dengan menyobek sedikit gaunnya.
Tiba-tiba pedang Panglima Awan terlempar jauh. Panglima Awan bergerak kembali dan menyandarkan tangannya di meja. Sementara Shina dipeluk dari samping oleh seorang pria yang mengenakan jubah prajurit. “AWAN, kejam sekali kamu terhadap seorang wanita!” Bentak orang tersebut.
“Maemo, kamu mengganggu tamuku.”
“Eh.” Prajurit tadi terjatuh pingsan. Shina dengan muka memerah dan tangan memancarkan gelombang hijau tua menghantam bahunya dari samping. Prajurit Maemo jatuh dan dekapannya ke Shina terlepas.
Panglima Awan kemudian pergi menjauhi Shina dan Maemo menuju ruang tengah coilnya. “Panglima Awan!” Shina berteriak memanggil Panglima Awan. Panglima Awan membalik wajahnya dari kejauhan, “Sembuhkan Maemo.” Kemudian di tangan Lotharine Shina terkumpul gelombang berwarna biru muda. Ia memadatkan gelombang itu di bahu tempat tangannya menghantam Maemo Malsouni.
Shina menghentikan gelombangnya setelah beberapa menit, Maemo membuka matanya. Pandangan Maemo mengarah ke Shina di sampingnya, tak berkedip. “Cantik!” Katanya. “Hah!” Shina tersipu, kedua pipinya sedikit memerah. Tak mau terlarut, Shina berdiri dan berjalan memasuki ruang tengah coil dimana Panglima Awan menghilang, meninggalkan pedang dan Maemo.
“Jangan masuk ke sana!” Maemo berteriak, Shina berhenti sebelum kakinya masuk ke dalam ruang tengah itu. Maemo berlari mendekati Shina, “Kamu tidak boleh masuk.” Tangan Maemo menghalangi Shina masuk ke ruang tengah. “Kenapa?” Tanya Shina. “Karena kamu bukan prajurit Panglima Awan, dan kamu juga tidak punya ini.” Maemo menunjukkan badge sabuk logam baja dengan simbol badai ditengahnya.
Dari dalam, muncul sebatang tangan mendekati tangan kanan Shina memberi sabuk badge dan jubah prajurit beserta pedang, perisai dan helmnya kepada Shina. Tangan itu ditahan oleh Maemo, “Hei hei, Derhim, apa yang kamu lakukan?” Kata Maemo.
Pemilik tangan itu memunculkan tubuhnya. Tangannya yang lainmerangkul Maemo. Badge dan jubah itu diterima Shina dengan mata berbinar-binar. “Selamat datang di keluarga prajurit Panglima ke empat.” Kata Derhim Delarouse. Shina berkenalan dengan dua prajurit Panglima Awan. Maemo Malsouni dan Derhim Delarouse, yang menjadikan dirinya prajurit ke-11.
Sesaat kemudian, Shina sudah mengenakan jubah dan sabuk itu. Maemo dan Derhim mengajak Shina memasuki ruang tengah coil Panglima Awan. Di sana terdapat Panglima Awan yang sedang tertidur tergantung di atas kasur tali. Shina menutup mulutnya ketika melihat air liur Panglima Awan menetes dari mulutnya. Maemo kemudian mengambil baskom untuk menadah air liur itu. Mereka bertiga bercanda melihat kejadian tersebut.
Shina melangkah memasuki coil itu lebih dalam dari ruang tengah, namun, dirinya tiba-tiba lunglai. Derhim menahan tubuh Shina agar tak terjatuh, Maemo pun menghentak punggung Shina agar tak tertidur. Shina dengan cepat dibopong kembali ke serambi coil oleh Derhim. Shina tersadar kembali. Maemo berujar, “Belum saatnya kamu masuk ke sana.”
“Sensasi aneh ini sangat kuat di dalam sana, kekuatan apa ini?” Tanya Shina.
“Bahkan kami yang sudah lama menjadi prajuritnya tak tahu apa-apa. Jangan menyebarluaskan ini keluar ,Shina. Ini rahasia.” Jawab Derhim dengan suara pelan dan serius.
“Pastikan kamu tetap memakai badge itu kemanapun kamu pergi. Jangan sekali-kali melepas sabuk itu.” Saran dari Maemo. Shina kemudian memandangi sabuk logam badai di pinggangnya itu. “Lalu bagaimana caraku ganti baju?” Tanyanya.
Derhim memperagakan cara melepas sabuk itu. Ia melepas sabuk badge itu dari pinggangnya dengan cepat. Lalu melingkarkan sabuk itu di tangan kiri dan mengancingkannya. “Sekarang kamu bisa ganti baju dengan aman. Yang terpenting, jangan sampai sabuk ataupun badge ini terlepas jauh dari jangkauan tubuhmu.”
“Apa yang akan terjadi jika terlepas.” Tanya Shina dengan raut wajah was-was.
Dari belakang Shina, seorang wanita berleher panjang dan berambut lurus hitam basah rapi membungkuk di belakang Shina, melingkarkan tangannya di pinggang Shina dan “Klek”. Sabuk badai Shina terlepas dari pinggangnya. “Ah.” Shina memandangi sabuk yang sedang melayang mengikuti gravitasi itu. Namun, secepat kilat, seorang pria dengan ikat kepala rotan memasangkannya kembali di pinggang Shina. “Klek.”
Pria itu berteriak, “ERIKA, Kamu mau membunuh keluarga baru kita, HAH!” Pria itu mengangkat kerah baju Erikadengan tangan kanannya. “Hehehe.” Erika tertawa seakan tak peduli. Pria itu melepas kerah Erika dan meninggalkannya berjalan mendekati Shina. “Aku Ernesto Sabile.”
Ernest menyodorkan tangannya kepada Shina. Shina menyalaminya, “T…tt…Terima kasih. ”
“Sebaiknya kamu cepat pulang, Shina. Untuk saat ini kamu lebih aman di rumah.” Kata Ernest.
“Bb… baik.” Shina dengan sedikit gugup menjawabnya. Ia pun kemudian meninggalkan ke empat Prajurit Panglima Awan kembali ke rumah.
Shina pulang. Ernest, Erika, Derhim, Maemo bercakap-cakap. “Menurut kalian, Apa gadis ini akan bertahan setelah malam pertama atau tidak?” Tanya Ernest.
Maemo menjawab, “ Shina pasti bertahan, gadis secantik dia pasti bertahan. Lihat saja besok.” Maemo dengan nada yakin.
Erika Karina tertawa terkekeh. “Hehehehe. Ukuran tubuhnya terlalu mini untuk menjadi seorang prajurit.”
Derhim tak berkata apa-apa, Ia kembali masuk ke ruang tengah coil dimana Panglima Awan masih tertidur di gantungan tali sore itu dan baskomnya hampir terisi penuh. “Hah.” Ia memandangi Panglimanya. “Bagaimana mungkin orang seperti ini menjadi panglima.” Ucapnya keheranan sebelum melompat dan berada di dekat Panglima Awan. Ia tidur di gantungan tali sebelahnya.
Satu Jam kemudian, Lotharine Shina disambut oleh warga desanya. Ia memamerkan sabuk,badge, pedang, perisai helmet, dan jubah prajurit kepada mereka. Rasa kagum dan terpesona terpancar dari warga desa Hali kepada satu-satunya pejuang wanita mereka di Kerajaan Auria. Kemudian, seorang pria dengan tangan tertutup perban menyambutnya. “Shin, Berhasil?” Tanyanya. Shina kemudian memeluk pria tersebut. “Iya.” Shina memamerkan kembali badge tersebut. Pria itu terkejut melihat simbol badai. “I…Ini?”
“Ini simbol badai, lambang prajurit panglima ke empat, Zaka.” Jawab Shina dengan riang. Warga desa Hali yang mendengar itu terdiam semua. Mereka pulang kembali ke rumah tanpa ekspresi setelah mendengar kata Panglima ke empat. Shina pun pulang bersama tunangannya, Zaka.
Zaka lalu bercerita tentang tetangganya yang dulu pernah menjadi prajurit panglima keempat, keesokan harinya setelah menerima badge itu, tetangganya tak bisa dibangunkan dan dinyatakan meninggal. Tak percaya dengan cerita tersebut, Shina menganggap tunangannya hanya menakut-nakuti dirinya. Setelah makan malam, Zaka dan Shina masih berdua. Kekhawatiran Zaka membuatnya ingin menemani Shina sampai pagi. Namun, untuk persiapan akan tugas kerajaan yang sudah menanti, Shina memaksa Zaka agar pulang sehingga Shina bisa beristirahat.
Di dalam coil Panglima keempat, ada 3 prajurit yang menggantung diri tertidur di kasur tali. Panglima Awan pun terbangun dari tidur panjangnya. Ia melihat sekeliling dan lilin sudah menyala terang. Suara gaduh seorang wanita berteriak-teriak di ruangan tengah dalam membuatnya terbangun. Ia melihat prajuritnya yang meniru gaya dirinya tidur di sekelilingnya. Satu mata yang tak terpejam itu milik Derhim Delarouse. “Apa kau memberikan sabuk dan badge badai kepada Shina, Derhim?”
“Ya panglima.” Jawabnya.
Panglima Awan turun dari gantungan tali dan melangkah ke ruangan dalam dimana terdengar suara Erika sedang berlatih. Belum sampai di sana, “Padahal dia lebih pantas menjadi selir daripada prajurit.” Panglima berbicara dengan suara menggerutu. “Hah?” Derhim yang mendengarnya terkejut. Ia juga turun dari gantungan tali itu pergi kearah yang sama dengan Panglima Awan melihat latihan Erika.
Malam itu di kediaman Lotharine Shina. Shina berdiri dengan jubah prajurit dan sabuk yang bercahaya. Jubah itu memancarkan cahaya. Dengan cepat pula cahaya itu meredup di ganti dengan suara gaduh di sekitarnya. Shina menutup telinganya. “Sensasi ini, sama seperti waktu bersama Panglima Awan.”
Kegaduhan itu disertai angin badai yang sangat kuat bermunculan di sekitar Shina. Ia pun mengaktifkan gelombang hijau tua di tangannya,“Rinne 2.” Tarikan badai itu mampu mengangkat Shina berputar-putar di udara. “Rinne 2.” Sekujur tubuh Shina memancarkan gelombang hijau tua dan dirinya turun kembali ke tanah.
Angin badai menghilang, kemudian muncul sesosok tubuh transparan di depannya. “Siapa kau?” Tanya Shina. “Aku penghuni badgemu. Kamu hebat, masih bertahan melawan kekuatan alamiku.” Katanya. Ia memunculkan sosok aslinya, seorang pria muda berkumis tipis dengan jaket putih tebal berbahan wol. Beberapa gelang logam tebal juga menghiasi tangan kanannya.
Ia menyodorkan tangannya ke depan Shina. Shina yang masih terbalut gelombang Rinne 2nya berhati-hati. Namun, Ia menyambut sodoran tangan itu dengan terbuka. Belum sampai keduanya bersalaman, serangan angin badai yang tajam berasal dari tubuh pria itu. Shina terlontar ke belakang dan tangan kirinya tergores. Dalam sekejap tubuh Shina terbalut banyak luka gores dimana-mana dan jubahnya memerah penuh darah. Shina tak mampu menahan tubuhnya untuk tetap berdiri. Ia terduduk di depan pria yang seolah tak melakukan apa-apa itu. “Kekuatan macam apa ini, serangan ini benar-benar mematikan.” Kata Shina.
Shina jatuh, sesaat kemudian Shina terbangun dari mimpinya. Dengan kucuran keringat dingin Ia menata napasnya dan melihat sekujur tubuhnya tak ada satupun goresan luka. “Jadi, dia yang mereka maksud.” Shina mencoba mengingat-ingat peringatan yang diberikan para prajurit Panglima keempat. Keadaan masih gelap dan yang lain masih terlelap. Shina sadar jika ia tertidur lagi ia harus melawan pria muda berkumis tipis tersebut di dalam mimpinya. Shina mengaktifkan gelombang berwarna coklat tua di tangannya sebelum tertidur.”Rinne 3.”
Pria itu kembali muncul di depan Shina. Shina bersiap dengan pedang di tangannya dan sekujur tubuhnya memancarkan gelombang berwarna coklat tua. “Aku pernah melawan sejenismu, suku Lotharinne.” Kata Pria itu.
“Hah?” Shina terkejut . Ia memancarkan gelombang coklat tua itu lebih padat.
“Biru muda, menyembuhkan, hijau tua, meningkatkan serangan, coklat tua, meningkatkan pertahanan, ungu, serangan frontal disertai racun yang meracuni pemakainya.” Penjelasan dari priaitu membuat Shina menonaktifkan gelombangnya. “Jadi dengan itu kamu merasa tahu tentang kekuatan kami, suku Lotharine?” Tanya Shina.
“Ya, tentu.” Priaitu kemudian menghilang. Shina juga menghilang. Mereka saat ini berada dalam pergerakan tempo yang sangat cepat nan berulang di dalam dimensi mimpi. Seranganangin badai tajam pria itu berkali-kali tak mengenai Shina.
Pria itu berhenti dan melepas jaket wol putihnya. Ia mengenakan jubah yang sama dengan Panglima awan siang tadi. Shina berhenti dalam jarak 30 kaki dari pria itu berdiri. Pria itu mengarahkan tangannya ke Shina, menggerakkan sedikit jarinya. Sensasi yang sama kembali muncul namun dengan kekuatan lebih membuat tubuh Shina lunglai dan tubuhnya hampir ambruk. Shina menahan tubuhnya dengan pedang, berusaha agar tak terjatuh. Ia memancarkan gelombang berwarna putih, “Rinne 5.”
“Putih?” Pria muda berkumis itu terkesima melihat gelombang baru yang belum pernah dia lihat. Ia kemudian memperkuat sensasinya. Shina kembali berdiri namun tubuhnya semakin lunglai tak mampu menahan kekuatan dari pria muda berkumis itu.
Shina terduduk, namun, Shina sempat mengubah gelombang putihnya menjadi ribuan gelombang berbentuk jarum putih panjang yang mengelilingi pria berkumis tipis itu.Setelah itu Shina jatuh, Pria itu memandangi ribuan gelombang jarum putih itu “Sekarang, apa?” Ribuan jarum gelombang jarum putih itu bergantian menghunjam tubuh pria berkumis itu hingga dirinya terlontar kemana-mana. Setelah semua gelombang menghantamnya, Pria itu terjatuh. Namun, Ia masih bisa bangun dan meraba tubuhnya yang terluka parah. Ia berjalan tertatih mendekati Shina yang terbaring. Sampai di samping Shina. “Aku tak akan membunuhmu.” Pria tersebut kemudian menghilang kembali ke dalam badge di sabuk Shina. Ia meninggalkan catatan dari kertas samak di tangan Shina yang sedang tertidur di kamar bertuliskan Amir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H