Mohon tunggu...
Hisbillah Rosyid
Hisbillah Rosyid Mohon Tunggu... Lainnya - MAHASISWA

MAHASISWA DI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teori Pengkondisian Klasik

26 September 2024   15:55 Diperbarui: 26 September 2024   15:56 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori pengkondisian klasik adalah konsep fundamental dalam psikologi yang menjelaskan bagaimana perilaku manusia dan hewan dapat dipelajari melalui proses asosiasi. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Ivan Pavlov, seorang ilmuwan Rusia, pada awal abad ke-20 melalui serangkaian eksperimen yang terkenal dengan anjing. 

Dalam eksperimen tersebut, Pavlov menemukan bahwa dengan menghubungkan dua rangsangan secara berulang---seperti bunyi bel dan pemberian makanan---hewan dapat belajar untuk merespons secara otomatis. Pavlov berhasil menunjukkan bahwa respons perilaku bisa diubah atau dikondisikan melalui pengulangan, menciptakan hubungan antara rangsangan netral (bunyi bel) dan respons alami (mengeluarkan air liur saat melihat makanan).

  • Berikut adalah ciri-ciri teori pengkondisian klasik dengan penjelasan yang lebih jelas:

1. Asosiasi Antara Dua Rangsangan: Teori ini melibatkan proses pembelajaran di mana suatu rangsangan netral (misalnya, bunyi bel) dihubungkan berulang kali dengan rangsangan tak bersyarat (misalnya, makanan). Setelah asosiasi terbentuk, rangsangan netral berubah menjadi rangsangan bersyarat, yang kini mampu memicu respons yang serupa dengan rangsangan tak bersyarat.

2. Respons Tak Disadari: Respons yang dihasilkan dalam pengkondisian klasik bersifat otomatis dan tidak disadari oleh subjek. Misalnya, respons seperti keluarnya air liur pada anjing, perasaan takut, atau kegembiraan terjadi tanpa kesadaran atau niat subjek untuk mempelajarinya. Ini adalah respons refleks alami yang dihasilkan oleh asosiasi rangsangan.

3. Rangsangan Bersyarat Menimbulkan Respons: Setelah proses pembelajaran selesai, rangsangan yang tadinya netral (seperti suara bel) dapat menimbulkan respons yang sama dengan rangsangan tak bersyarat (seperti makanan). Meski rangsangan tak bersyarat tidak lagi ada, rangsangan bersyarat tetap bisa memicu respons yang sama, menunjukkan bahwa subjek telah mempelajari hubungan tersebut.

  • Berikut adalah prinsip-prinsip penting dalam pengkondisian klasik:

1. Pemerolehan: Ini adalah tahap di mana rangsangan netral diubah menjadi rangsangan bersyarat. Proses ini terjadi melalui pengulangan yang konsisten antara rangsangan netral (misalnya, suara bel) dan rangsangan tak bersyarat (misalnya, makanan). Akibatnya, rangsangan netral mulai memicu respons yang sama seperti rangsangan tak bersyarat, seperti air liur pada anjing.

2. Pemadaman: Pemadaman terjadi ketika rangsangan bersyarat (seperti bunyi bel) diberikan berulang kali tanpa diikuti oleh rangsangan tak bersyarat (misalnya, makanan). Seiring waktu, respons bersyarat (seperti keluarnya air liur) akan melemah dan akhirnya menghilang karena asosiasi antara kedua rangsangan tersebut memudar.

3. Pemulihan Spontan: Meskipun respons bersyarat mungkin menghilang selama proses pemadaman, respons tersebut bisa tiba-tiba muncul kembali tanpa peringatan, meskipun biasanya dalam bentuk yang lebih lemah. Ini menunjukkan bahwa memori asosiasi antara rangsangan bersyarat dan tak bersyarat masih tersimpan dalam otak, meskipun tidak lagi aktif sepenuhnya.

  • Contoh teori pengkondisian klasik

Bayangkan seorang anak kecil yang merasa takut setiap kali mendengar suara petir (rangsangan tak bersyarat) karena secara alami petir menimbulkan rasa takut (respons tak bersyarat). Pada saat yang sama, setiap kali petir menyambar, ada kilatan cahaya (rangsangan netral) yang juga terlihat. Setelah terjadi berulang kali, anak tersebut mulai mengasosiasikan kilatan cahaya dengan petir. Akibatnya, meskipun tidak ada suara petir, hanya melihat kilatan cahaya saja sudah cukup untuk memicu rasa takut pada anak tersebut. Kilatan cahaya sekarang telah menjadi rangsangan bersyarat, yang menyebabkan respons bersyarat berupa rasa takut, meskipun petir sebenarnya tidak terdengar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun