Mohon tunggu...
Mochammad Hisam
Mochammad Hisam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Semangat berbenah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membumikan Islam di Indonesia

21 November 2018   12:58 Diperbarui: 21 November 2018   12:58 9149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Ahmad Syauqi

Islam hadir di Nusantara ini sebagai agama baru dan pendatang. Dikarenakan kehadirannya lebih belakang dibandingkan dengan agama Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme. Dinamakan agama pendatang karena agama ini hadir dari luar negeri. Terlepas dari subtansi ajaran Islam, Islam bukan merupakan agama asli bagi bangsa Indonesia, melainkan agama yang baru datang dari Arab. 

Sebagai agama baru dan pendatang saat itu, Islam harus menempuh strategi dakwah tertentu, melakukan berbagai adaptasi dan seleksi dalam menghadapi budaya dan tradisi yang berkembang di Indonesia. 

Perkembangan Islam di Nusantara ini merasakan berbagai pengalaman, disebabkan adanya keberagaman budaya dan tradisi pada setiap pulau tersebut. Bahkan dalam satu pulau saja bisa melahirkan berbagai budaya dan tradisi. Perjumpaan Islam dengan budaya (tradisi) lokal itu seringkali menimbulkan akulturasi budaya. 

Kondisi ini menyebabkan ekpresi Islam tampil beragam dan bervariasi sehingga kaya kreativitas kultural-religius. Realitas ini merupakan risiko akulturasi budaya, tetapi akulturasi budaya tidak bisa dibendung ketika Islam memasuki wilayah baru. Jika Islam bersikap keras terhadap budaya atau tradisi lokal yang terjadi justru pertentangan terhadap Islam itu sendiri bahkan peperangan dengan pemangku budaya, tradisi atau adat lokal seperti perang Padri di Sumatera. 

Maka jalan yang terbaik adalah melakukan seleksi terhadap budaya maupun tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam untuk diadaptasi sehingga mengekpresikan Islam yang khas. Ekpresi Islam lokal ini cenderung berkembang sehingga menimbulkan Islam yang beragam.

Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Nusantara tepatnya pada aba ke -15 dan khususnya di tanah Jawa, Walisongo mempunyai peran yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya. Budaya dijadikan sebagai media dalam menyebarkan Islam dan mengenalkan nilai dan ajaran Islam kepada masyarakat secara persuasif. Kemampuan memadukan kearifan local dan nilai-nilai Islam mempertegas bahwa agama dan budaya lokal tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Secara sosiologis, keberadaan Walisongo hampir semua berada di titik tempat pusat kekuatan masyarakat, yaitu di Surabaya, Gresik, Demak, dan Cirebon. Bahkan kerabat mereka pun memiliki peran yang signifikan juga dalam penyebaran Islam secara kultural.

Dalam konteks praktik keagamaan yang dijalankan masyarakat Indonesia yang berhubungan dengan gerakan dakwah Walisongo dtampak sekali terdapat usaha membumikan Islam. Fakta tentang pribumisasi Islam yang dilakukan Walisongo dalam dakwahnya terlihat sampai saat ini. Sejumlah istilah local yang digunakan untuk menggantikan istilah yang berbahasa Arab, contohnya Gusti Kang Murbeng (Allahu Rabbul Alamin), Kanjeng Nabi, Kyai (al-Alim), Guru (Ustadz), bidadari (Hur), sembahyang (shalat), dan lain-lain.

Sejak masa Wali Songo, Islam di Indonesia memiliki dua model di atas. Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fikih dan politik kenegaraan, sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan kultur dalam berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi, polemik antara kedua model keberagamaan ini masih tetap ada.

Dalam masyarakat yang pluralistik saat ini diperlukan pengembangan kiat-kiat baru bagi para pendakwah dengan menyelaraskan dengan kemajuan tekhnologi dan modernitas. Penggunaan media massa dan internet dirasa sangat pas dalam menyebarkan dakwah yang lebih luas lagi. Artinya, metode seperti ini juga menandakan sama dengan para Walisongo pada zaman dahulu menggunakan media tradisional.

 Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman agama yang saintifik, yang secara serius memperlihatkan pelbagai pendekatan, Pendekatan Islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat Islam di pelbagai tempat. Agar diperoleh pemahaman Islam yang saintifik di atas diperlukan pembacaan teks-teks agama (Quran, Al-Hadts, dan turats) secara integratif dan interkonektif dengan bidang-bidang dan disiplin ilmu lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun