"Dimana Kau Sembunyikan Janji?"
Dua bulan setelah pertemuan itu, kau menitip semusim janji dalam kantong-kantong temu yang rapuh. Pada harapku yang masih berlumur pilu, dada yang dibanjiri lautan air mata, kau datang dengan segudang tawa. Seketika nelangsaku menjelma menjadi padang bahagia yang tak berujung. Setelahnya, benih-benih itu kusemai dalam palung hati yang berjeruji;
Bertahun kemudian, setelah lelah mendaki bukit seribu tanya, menjelajahi samudra kata-kata, kau berbalik arah membaringkan cinta pada dahan percaya yang mulai patah. Seperti sia-sia. "Mengapa mencintaimu harus serumit ini?"
"Dimana kau sembunyikan janji?"
Di jantung yang remuk, di Emperan luka, bintik-bintik air mata, di saku celana, atau di meja pengadilan, di gedung KPU, atau mungkin di kamar-kamar tetangga? Mungkinkah begitu;
"Jika mencintaimu seramai musim pemilu, mungkin aku menjadi tempat pemungutan suara yang paling tabah". Berteduh pada keputusanmu yang semu, seperti basah kehujanan di Jalan-jalan duka. Di Tepi-tepi hati yang kau sirami benih janji, kini tumbuh setumpuk perih, sebaris sepi dan pedih yang tak pernah memilih usai. Seperti sepasang kekasih yang sedang berkelahi, kau kehilangan harga diri dibunuh ego yang tinggi;
Pada baris waktu yang mulai habis, aku menulis tentang lelaki itu, diatas kursi kayu dibawah atap biru, mencoret-coret buku. Pada langit bercahaya semu, bayangmu termangu, pada pelupuk matamu yang ranum kusematkan seribu sesal yang mulai tumbuh. "Apakah harus setia menunggu?, sedang disana kau diam-diam merayakan temu". Apakah harus ku berlalu, sedang hati ini diam-diam merindu".
#Salsa, wanita setengah tua yang terpaksa mendua. Kembali memungut sesal pada pelupuk mata-Mu🍃
#nelangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H