Narasi 3 Dimensi Dalam Melodi Setengah Hati
Oleh OmHIRO
Tahun lalu di beberapa bulan terakhiryang patah,  ketika hujan belum siap menghujam karang, menggugurkan dedaunan,  sebelum bunga sepe dan pucuk lontar bermekaran di sepanjang rahim ibukota,  mereka menitip salam pada  katong plastik hitam, setelah bisnis kelor berdansa ria di tengah wabah. Sungguh menyedihkan.
Kala itu belum jelas seperti apa dan bagaimana alur drama yang dimainkan, tapi yang pasti mereka korban pembunuhan yang dilakukan dengan keji tanpa ada rasa kemanusiaan. Â Sampai sekarang apa yang harus dibenarkan ketika dituduh saling membunuh dalam bayangan. Apa karena sudah dikantongi atau mengantongi? Masih menjadi pertanyaan.
Masalahnya merambat keberbagai arah. Mudah saja kita berbalik cerita, memperlebar luka dan duka keluarga. Mengapa cukup lama, atau memang disegaja? Luka yang terus menganga mengapa didiamkan saja. Apa karena hukum kita yang salah? Atau memang sengaja diperlambat. Entalah.
Banyak yang menuliskan tentang sebutir keadilan, banyak juga yang bersimbah keringat berteriak disepanjang lampu merah jalanan. Nyatanya sama, semua seperti drama lelucon biasa tapi yang jelas bukan drama Korea. Memang benar penguasa punya tahta yang tidak ada bisa diada-ada.
Terkusus Nusa Tenggara bagian Timur, banyak masalah yang hilang begitu saja. Banyak kasus dibungkus jabatan, tidak jelas bagaiman akhirnya. Semuanya digantung lesuh seperti lukisan masa Belanda. Â
Tak ada yang bersuara, semuanya tergantung dana. Â Memamg susah jika pemimpin terus melanggengkan sistem premanisme, seolah-olah dia yang berkuasa hingga masyarakat kecilpun tak ada apa-apanya. Kita seolah-olah tak berdaya, berhadapan dengan orang yang miskin etika.
Kini 2022 telah menyapa, tetapi tetap sama saja bahkan masalahnya semakin tak terbaca. Banyak waktu yang terbuang sia-sia, banyak nyawa yang mati percuma. Dari semua masalah yang ada, dari semua luka yang tercipta, mari kita pecahkan bersama agar tak ada yang berburuk sangka.
Kita yang terbawa suasana atau hukum yang mesti dirubah, sampai kapan kita menghamba pada sistem yang katanya punya nilai tambah. Undang-undang hanya membuat kita setengah gila, pada akhirnya tanpa sengaja kita menjumpai lara. Dari Oeleta dan jalan jalan sepi kami menolak lupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H