[caption id="attachment_91921" align="aligncenter" width="500" caption="The Annunciation."][/caption] Syahdan, terdapatlah seorang perawan cantik nan saleh yang tinggal di sebuah kota di wilayah Galilea, yaitu Nazaret. Perempuan muda itu bernama Maria. Pada waktu itu, Maria sudah bertunangan dengan seorang tukang kayu bernama Yusuf yang ternyata masih segaris keturunan dengan Raja Daud. Sebagaimana perempuan-perempuan Yahudi lainnya, Maria lebih sering tinggal di dalam rumah bersama ibunya, Anna. Ia tentu saja belum boleh tinggal seatap dengan calon suaminya itu. Di suatu siang yang terik, Maria sedang sibuk membersihkan perabotan rumah dari debu tebal yang menempel. Ia mengelap cawan dan pinggan tanah liat, mengibaskan tikar di ruang duduk, dan mengisi baskom dengan air untuk mencuci kaki. Entah bagaimana, debu itu selalu saja akan berkumpul kembali setiap kali ia selesai membersihkan rumah, gumamnya. Akan tetapi, Maria tidak mengeluh. Ia tetap saja menjalankan rutinitas harian itu sambil membayangkan apa yang hendak ia masak untuk makan malam.
Maria baru saja akan membilas kain lap yang sudah lusuh ketika tiba-tiba matanya disilaukan oleh sebuah cahaya. Pancaran cahaya itu terlihat lebih terang daripada teriknya matahari siang! Oh, apakah gerangan? Maria lantas bergegas menuju ke arah cahaya itu. Ia sama sekali tidak dapat menerka benda apakah yang sanggup bercahaya lebih terang daripada matahari.
“Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.”
Oh, siapakah itu? Maria terperanjat. Mengapa ada suara orang yang menyapaku?
“Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah,” kata suara itu lagi.
Maria semakin bingung. Ia tidak mampu mengenali siapakah sosok yang berada di balik cahaya. Saudarakukah engkau? Tetangga? Atau Yusuf? Tampaknya bukan. Sosok itu terasa begitu agung, sungguh indah. Apakah itu Allah? Yang benar saja. Apakah aku sedang bermimpi? Atau terlalu lelah bekerja sehingga aku berhalusinasi?Mungkin saja. Maria lalu mencubit tangannya. Sakit. Berarti, ia tidak bermimpi. Kalau begitu, siapakah itu? Atau, lebih tepatnya, apakah itu?
“Maaf, Tuanku. Jikalau Tuan berkenan, perkenankanlah aku bertanya, siapakah engkau? Mengapa engkau mengenal aku?” Maria memberanikan diri bertanya.
“Aku adalah malaikat Gabriel yang diutus oleh Allah untuk mewartakan Kabar Gembira kepadamu. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.”
Apa? Hati Maria bertanya-tanya. Bagaimana ia bisa meramalkan bahwa aku akan punya anak laki-laki? Dan, untuk apa pula aku harus menamainya Yesus?
Malaikat Gabriel melanjutkan kabarnya, “Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”
Ngawur! Malaikat gila! Tampaknya bukan hanya aku yang bermimpi; makhluk ini juga. Bagaimana mungkin anakku akan menjadi raja, wong aku ini hanya orang biasa? Aku bukan superstar yangkaya dan terkenal. Aku juga bukan saudagar yang punya banyak kapal. Lagipula,
“…bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?”
Sang malaikat tersenyum. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.”
Maria menjadi gusar. “Hai malaikat, bukannya aku tidak percaya padamu. Namun, seumur hidupku aku tidak pernah mendengarkan kabar bahwa seorang perawan dapat mengandung dan melahirkan tanpa suami. Tidak mungkin!”
Malaikat pun menjawab, “Maria, ketahuilah. Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil. Nah, bagaimana Maria? Apakah engkau bersedia mengandung Putera Allah?”
Maria agak terkejut mendengar nama Elisabet disebut-sebut.Benarkah kabar itu? Kali terakhir aku bersua dengannya ketika aku masih remaja-tanggung. Betapa anehnya hal itu! Elisabet tentu sudah sangat tua kini—bagaimana mungkin ia akan mampu merawat anaknya kelak hingga dewasa? Tetapi, bukankah bagi Allah memang tidak ada yang mustahil?
Maria tertegun lama. Kini malaikat itu menunggu jawaban darinya. Oh, apa yang harus kuperbuat? Maria menimbang-nimbang dengan cermat. Jadi, begini. Jika aku menyetujuinya, aku akan mengandung begitu saja tanpa campur tangan suamiku. Jika sampai Yusuf tahu, ia tentu akan murka besar padaku. Jangan-jangan aku akan dituduh berselingkuh lalu diseret ke hadapan imam. Setelah itu, aku akan dilempari batu oleh orang banyak hingga akhirnya aku dan kandunganku tewas. Tentu saja, tidak ada gunanya aku membela diri. Siapa pula yang akan percaya bahwa aku ini mengandung dari Allah? Itu ‘kan berarti, aku bersetubuh dengan Allah? Justru, mereka akan menyebutku perempuan sundal sekaligus penghujat Allah! Oh, betapa mengerikan hal itu!
“Bagaimana, Maria? Engkau bersedia?”
“Tidak.”
Kini, giliran Malaikat Gabriel yang terkejut. “Apa? Bagaimana mungkin kamu menolak karunia Allah ini, Maria?”
Maria menjawab dengan mantap. “Malaikat, terlalu besar resikonya, baik bagiku maupun bagi kandunganku kelak. Lebih baik, engkau mencari perempuan lain yang sudah menikah agar resikonya tidak besar. Bagaimana mungkin aku dapat menjelaskan pada calon suamiku bahwa aku mengandung anak yang bukan darah-dagingnya? Jadi, ya, aku menolak.”
Pancaran cahaya malaikat itu sekonyong-konyong meredup.
“Maria, kau tahu, Allah akan sedih mengetahui kabar ini. Ia sesungguhnya telah merencanakan suatu karya keselamatan bagi seluruh umat manusia! Tidakkah engkau sadari bahwa ini merupakan peristiwa yang bersejarah? Lewat perantaraanmu, umat manusia akan dilepaskan dari maut akibat dosa! Ini adalah puncak penggenapan janji Allah sejak ia mengusir Adam dan Hawa dari Taman Firdaus. Kini, waktunya telah di ambang pintu—keputusanmu hari ini akan menentukan masa depan sejarah umat manusia! Maria, kutanya engkau sekali lagi, bersediakah engkau mengandung Putera Allah?”
“Tidak.”
Malaikat Gabriel pun meraung-raung. Ia merasakan kepedihan yang sangat besar. Tinggal sekali lagi pintu keselamatan akan terbuka, namun Maria yang menjadi pemegang kuncinya menolak untuk membuka pintu itu.
Perlahan-lahan, malaikat Gabriel lenyap dari pandangan bersama cahaya yang mengiringinya. Dan, demikianlah, Maria tetap hidup seperti semula. Tiga bulan kemudian, ia menikah dengan Yusuf dan menjalani hidup rumah tangga sebagaimana pasangan suami-istri lainnya. Tidak ada rencana keselamatan apa pun yang terlaksana. Nubuat Yesaya itu tampaknya belum akan tergenapi. Entah sampai kapan.[]
PS: Cerita ini karangan semata...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H