[catatan: Artikel berikut aslinya berupa paper yang dikerjakan dalam rangka memenuhi tugas matakuliah Psikologi Kepribadian. Pengguna yang ingin memanfaatkan isi artikel ini diharapkan tidak lupa mencantumkan alamat blog ini sebagai sumber. Daftar pustaka dengan sengaja tidak ditampilkan.]
KEPRIBADIAN JEAN-PAUL SARTRE MENURUT TEORI PSIKOANALISIS SOSIAL KAREN HORNEY
“L’enfer c’est les autres.” “Neraka, itulah orang lain.” —Sandiwara Huis Clos (1944) I. MASA BAHAGIA BERSAMA SANG IBU DAN KAKEK Jean-Paul Charles Eymard Sartre dilahirkan dalam sebuah keluarga borjuis, 21 Juni 1905. Ayahnya, Jean Baptiste-Sartre, adalah seorang perwira muda angkatan laut yang, sayangnya, telah meninggal dunia sebelum ‘Poulou’, nama kecil J.P. Sartre, berusia satu tahun. Sejak saat itu, Poulou hidup bersama ibunya, Anne-Marie, yang kini menjanda pada usia 24 tahun. Anne-Marie dan putranya itu lalu pindah ke rumah orangtuanya (kakek Poulou) di Paris untuk tinggal bersama ayahnya, Charles Shweitzer, yang tidak lain adalah paman dari seorang teolog, ekseget, dan misionaris protestan terkenal, Albert Schweitzer. Secara umum dapat dikatakan bahwa masa kecil Sartre pada tahun-tahun pertama hidupnya adalah sangat bahagia. Sartre sangat mengagumi perpustakaan kakeknya. Berbagai kisah kepahlawanan dan petualangan para ksatria dibacanya. Singkatnya, dunianya adalah perpustakaan kakeknya. Di samping itu, Sartre dan ibunya sama-sama diperlakukan sebagai anak di rumah sang kakek. Akibatnya, hubungan Sartre dengan ibunya lebih menyerupai hubungan adik dengan kakak. Figur ibu-kakak ini tak ayal lagi menjadi kebutuhan psikologis yang penting bagi Sarte kecil. Menjadi pusat perhatian dan dikelilingi oleh keluarga yang sangat menyayanginya, Sartre kecil tumbuh dengan ego yang cepat membesar. Sampai-sampai, ia mendeklarasikan dirinya sendiri, “Aku adalah seorang jenius” (dan, memang, sesungguhnya ia seorang jenius). Kakeknya bahkan sempat merengkuh bocah itu ke dalam pangkuannya dan menyebut Sarte, “Harta karun kecilku!” Berambut pirang panjang dan bergelung-gelung, Sartre pun menyadari pula betapa tampan dirinya. Pendek kata, ia seakan hidup di surga. Dipadukan dengan teori Karen Horney, Sartre kecil tampaknya mampu mengatasi ‘kecemasan makhluk’ (Angst der Kreatur, creature anxiety). Pengalaman kehilangan ayah dengan segera tergantikan oleh cinta kasih dari sang ibu. Dengan kata lain, corak self-effacement (moving toward others) terpenuhi lewat figur sang ibu (dan keluarga kakeknya). Figur sang ayah diakuinya sendiri tidak ia perlukan. Dengan memperoleh perhatian yang besar dari orang lain, Sartre dapat menaklukkan situasi yang mengancam (threatening situations), sehingga pada masa ini ia hampir tidak merasakan basic anxiety dan basic hostility. Di sisi lain, perhatian berlebih yang diterima oleh Sartre kecil sekaligus memperkuat corak moving against others, terutama tipe narcissistic expansion. Hal ini tampak dari rasa percaya diri Sartre yang sangat tinggi (”aku tampan”) dan keyakinan tak-tergoyahkan akan talenta dan kemampuannya (“aku seorang jenius”). Akibatnya seperti siklus: ia memang disukai dan dimanja oleh keluarga besarnya—dan ia bersikap manis dan perayu demi mendapatkan perhatian itu kembali. II. MUNCULNYA BASIC ANXIETY DAN BASIC HOSTILITY Masa-masa kecil nan bahagia Sartre tidak berlangsung lama. Dalam perjalanan waktu selanjutnya, si Poulou menghadapi setidaknya dua peristiwa penting yang kemudian memunculkan basic anxiety dan basic hostility. Kedua peristiwa tersebut, sejalan dengan pendapat Karen Horney yang menekankan pentingnya masa kanak-kanak, dapat dianggap sebagai suatu faktor pendorong lahirnya filsafat eksistensialisme à la Sartre [terlepas dari penolakan terang-terangan Sartre atas psikoanalisis; ia membantah ada hubungan antara masa kecil dan (pemikiran) masa dewasanya]. 2.1. Pengalaman akan Kejelekan Diri Segalanya bermula ketika Sartre sekeluarga berlibur di pantai. Ia terkena demam. Celakanya, pada zaman itu profesi medis sangat dihormati, melampaui kapasitas yang sebenarnya. Demam yang menimpa Sartre dibiarkan (dianggap demam biasa) sehingga berkembang menjadi komplikasi serius. Alhasil, Sartre menderita leukoma di mata kanannya, yaitu pemutihan di kornea yang membuat penglihatan samar-samar. Mata kanannya lantas mengalami strabismus, seperti juling: kedua mata tidak dapat berfokus pada satu titik. Dengan kata lain, kedua mata Sartre tetap utuh, tetapi mata kanannya juling ke kanan dan tidak bisa melihat dengan benar. Bencana terjadi ketika sang kakek membawanya ke tukang cukur. Dalam buku autobiografinya, Les Mots, ia menulis, “Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok.” Ya, tanpa eufemisme ia mengakui rupanya begitu buruk seperti kodok. Itulah saat pertama Sartre menyadari betapa rupanya begitu jelek. Peristiwa ini sangat penting bagi konsep kunci filsafat Sartre kelak: tatapan mata (le regard) dan orang lain, liyan (l’autre). Tatapan liyan-lah (ibu, kakek, teman-teman) yang menjadikannya pusat perhatian, tetapi sekaligus menjatuhkannya. Dari liyan ia menyadari bahwa eksistensinya jelek. Jadi, eksistensi lahir dari tatapan mata liyan. Ditilik dari perspektif Karen Horney, Sartre mengalami suatu kejatuhan besar bagi narcissistic expansion-nya. Kenyataan bahwa wajahnya seperti kodok menjatuhkan perasaan bangga sebelumnya bahwa ia tampan. Neurotic should (kebutuhan neurotik) berupa kekaguman pribadi yang dibentuk dalam idealized self-image (gambaran-diri ideal) kini tidak mampu lagi terpenuhi dalam actual self (diri aktual). Akibatnya, neurotic pride (“aku tampan”) tercerabut dari dirinya, digantikan oleh self-hate (“aku seperti kodok”). Untuk ‘mengatasi’ hal itu, ia melakukan eksternalisasi (externalization) atas kejatuhannya sendiri (own fallibility): ia merasa jelek gara-gara tatapan mata liyan. Liyan berperan dalam kejelekan eksistensinya; seakan-akan bersikap hostile (tidak ramah, bermusuhan) terhadap dirinya. Kelak, dalam pengalaman berikutnya Sartre akan memperoleh ‘tamparan’ lebih besar yang menyebabkan munculnya basic anxiety dan basic hostility. 2.2. Pengalaman dengan Ayah Tiri Bencana besar berikutnya datang. Pada 26 April 1917, setelah menjanda selama 10 tahun, Anne-Marie menikah lagi dengan Joseph Mancy, seorang borjuis. Joseph Mancy adalah direktur perusahaan galangan kapal lokal, Delaunay-Bellville. Kedua pasutri ini lalu bersama Sartre pindah ke La Rochelle, sebuah kota tepi-pantai yang jauh dari Paris. Peristiwa ini dapat ditafsirkan sebagai ucapan selamat tinggal pada kehangatan ibu yang selama ini ia miliki secara eksklusif. Sartre, yang saat itu sudah berusia 12 tahun, merasa begitu ketakutan. Ia tidak lagi menjadi pusat perhatian; dirampas dari kehangatan kasih sayang baik sang ibu maupun keluarga kakeknya di Paris. Semenjak mereka tinggal di La Rochelle, Anne-Marie bahkan tidak pernah lagi membaca karya tulisan Sartre, padahal menulis adalah sarana ekspresi diri yang disadari Sartre sejak kecil (!). Dengan bersikap pasif dan tidak peduli, ibunya pun berubah menjadi liyan yang buruk di mata Sartre. Sementara itu, hari-hari di La Rochelle dengan sang ayah baru dilalui Sartre dengan jauh lebih buruk. Joseph Mancy, alumnus École Polytechnique, adalah figur ayah dengan esprit de seriux, berjiwa serius, yang menjemukan Sartre. Setiap sore setelah pulang kerja, Mosieur Mancy akan memanggil anak tirinya itu ke ruang depan yang mewah untuk memberikan pelajaran tambahan geometri dan aljabar. Pendekatan ortodoks ia terapkan: jika Sartre tak bisa menjawab dengan benar soal yang diajukan, hukumannya adalah ditempeleng. Demikianlah, sang ayah tiri tidak hanya menghilangkan kebebasan berekspresi Sartre dan mereduksi Sartre kepada kebisuan (mutisme), melainkan juga mengindoktrinasi Sartre bahwa ia tidak pintar. Pengalaman dengan ayah tiri ini menghujam dua corak dalam diri Sartre: self-effacement (moving toward others) dan narcissistic expansion (moving against others). Oleh sebab sang ayah tiri merampas Sartre dari ibu dan keluarga kakeknya di Paris, kebutuhan akan cinta dan penerimaan (salah satu should dari self-effacement) tidak lagi ia peroleh. Apalagi, ibunya yang ia harapkan dapat menjadi pelipur lara selama masa-masa suram di La Rochelle, ternyata malah bersikap pasif dan tidak peduli (neglect). Lantas, perasaan tidak dicintai (being unlovable) dan tidak diinginkan (unwanted) itu menimbulkan self-hate. Di samping itu, narcissistic expansion Sartre pun dihancurleburkan oleh indoktrinasi sang ayah bahwa dirinya tidak pintar dalam matematika. Sekali lagi, neurotic pride (“aku jenius”) terancam digantikan oleh self-hate (“aku bodoh”)—walaupun self-hate ini tidak berlangsung lama. Persis pada saat itulah Sartre membangun basic anxiety, yang tidak lain merupakan perasaan amarah (rage) yang ditekan (repressed) selama masa kanak-kanak karena orangtua tidak mampu memenuhi kebutuhan anak akan rasa aman (the need for security) dan ekspresi diri (the need to express fundamental emotions and thoughts). Pengalaman basic anxiety berupa (1) kejelekan diri, (2) ditelantarkan (neglected), dan (3) ditolak intelektualitasnya (rejected), berpadu menjadi suatu fondasi bagi pemikiran dan sikap hidup eksistensialis Sartre, yang intinya memandang negatif liyan bagi kebebasan individu. Inilah basic hostility: liyan adalah figur yang tidak ramah (hostile) bagi individu. “Neraka adalah orang lain,” demikian satu kalimat dalam sandiwara yang ia tulis, Huis Clos (‘Pintu-pintu Tertutup’). III. BERSEKOLAH DI LYCÉE Menurut Karen Horney, corak resignation (moving away from others) seringkali terbentuk setelah seseorang mengalami tuntutan berlebihan (excessive demands) dari lingkungannya tanpa penghargaan (regard) akan individualitas dirinya. Dalam hal ini, tepatlah bila dikatakan bahwa Sartre dituntut terlalu banyak dari sang ayah tiri tanpa pujian secuil pun. Pengalaman-pengalaman tersebut mengubah secara radikal corak hubungan interpersonal Sartre, yang semula self-effacement dan narcissistic expansion menjadi resignation ketika remaja dan dewasa. 3.1. Dengan Teman-teman Sekolah Di lycée (sejenis sekolah persiapan untuk masuk perguruan tinggi) Sartre ‘si pengkhayal berkacamata’ sering dicemooh oleh teman-teman sekolah karena ia tampil lebih necis dibandingkan semua mereka. Sikap anak-anak itu, anehnya, justru membuat Sartre puas akan kondisi dirinya (self-sufficient). Ia lantas menjadi seorang penyendiri yang tertutup—bukan karena ia merasa minder akibat cemoohan teman-temannya, melainkan karena independensi tak terkalahkan yang menjaga kepalanya tetap tegak. Neurotic should-nya ialah tidak terikat atau secara emosional terlibat dengan siapa pun. Oleh sebab itu, ia tidak merasa perlu untuk ‘melayani’ cemoohan itu. Cukup dengan kejeniusannya, ia akan sanggup mengatasi anak-anak yang ‘tidak ada apa-apanya’ itu. Corak resignation tampak semakin jelas, bahkan, ketika banyak teman sekolah Sartre tinggal hanya bersama ibu mereka selama Perang Dunia I, sebab ayah mereka harus ikut berperang. Mereka yang ayahnya gugur di medan perang merasa kesepian dan ingin melampiaskan kesedihan pada siapa pun yang mereka anggap lemah. Sartre, tanpa simpati sedikit pun, sama sekali tidak berhasrat menyesuaikan diri dengan ‘gerombolan para dungu’ itu. Ia bersedia bergabung asalkan mereka mengikuti syarat-syarat yang ia tentukan sendiri (!). 3.2. Menolak Tuhan Keinginan untuk bebas dan tidak diganggu atau terikat oleh orang lain pada akhirnya mencapai suatu titik ekstrem ketika Sartre pada usia 12 tahun secara sadar melepaskan diri dari adanya ‘liyan’ teragung, Tuhan sendiri. Bagi Sartre ‘ABG’, Tuhan adalah figur yang suka menghukum, mahatahu, dan ada di mana-mana, sehingga mampu melongok ke setiap sudut-sudut relung hatinya yang diliputi rasa bersalah. Ini jelas memuakkan. “Aku membutuhkan seorang Pencipta Semesta, namun orang memberikan daku seorang bos nomor wahid.” Sartre menyebut gaya Tuhan ‘sang polisi’ ini sebagai ‘kekurangajaran yang keterlaluan’. Ia bercerita,
“Aku pernah bermain dengan korek api dan menghanguskan sebuah karpet kecil. Aku sedang bermaksud menyembunyikan perbuatanku, tatkala Tuhan tiba-tiba saja melihatnya. Aku merasakan tatapan mata-Nya di dalam benakku terdalam dan juga pada kedua tanganku; aku mengumpet-umpet di dalam kamar mandi sebentar di sini, sebentar di sana, namun brengseknya terus saja ketahuan, suatu sasaran yang hidup. Murkaku lalu timbul: aku jadi marah besar atas kekurangajaran yang kasar ini. Aku mengumpat, aku mengeluarkan sumpah serapah yang pernah kukenal selama ini. Sejak saat itu Tuhan tidak memandangiku lagi.”
Corak resignation membuat Sartre menganggap Tuhan mengganggu kebebasan (freedom) dan kedamaian sempurnanya (perfect serenity). Tuhan adalah liyan yang ikut campur urusan pribadi, mengungkit kesalahan-kesalahannya hingga ia tidak punya tempat untuk melarikan diri. Merasa muak, Sartre pun menolak Tuhan pada usia semuda itu. Kelak, pemikirannya ini akan ia kembangkan dan formulasikan dalam filsafat eksistensialis-ateistiknya: manusia sungguh-sungguh bebas dan, atas nama kebebasan, Tuhan harus tidak ada karena adanya Tuhan menghambat kebebasan manusia! IV. PEMUDA PENGGILA FILSAFAT DAN WANITA Sartre berhasil lulus ujian baccalauréat (ujian sekolah nasional) dan sejak tahun 1924 berkuliah di École Normale Supérieure, sebuah perguruan tinggi terkemuka dan sangat bergengsi di Perancis. Pada masa-masa ini Sartre mengembangkan pemikiran melalui diskursus filsafat dengan sesama mahasiswa di cafés di Left Bank, Perancis. Di samping bergelut dengan buku-buku tebal, bir, dan obrolan filsafat, Sartre ternyata begitu kecanduan dengan wanita. Tampaknya Sartre mengalami satu tahapan vicious circle (‘lingkaran setan’) berikutnya: kebutuhan yang lebih berlebih akan afeksi dan cinta, yang mana tidak ia peroleh sejak ibunya menikah lagi. Dan, begitulah yang terjadi; banyak wanita terperdaya oleh intelektualitasnya. Daya tarik Sartre jauh mengungguli keburukan wajah ‘kodok’-nya itu. Ini menumbuhkan kembali kepercayaan diri Sartre, terutama daya rayunya, yang sejak kecil selalu meyakinkan dirinya, “Aku jenius.” Salah satu gadis yang terpikat itu adalah Simone Bertrand de Beauvoir, gadis cantik dan brilian berusia 21 tahun. Ia mahasiswi ENS, 3 tahun di bawah Sartre. Berlatar belakang juga borjuis, Simone memperoleh pendidikan kelas atas dari para suster biara yang, ironisnya, justru ia tentang habis-habisan saat itu. Perkenalan Simone dan Sartre sendiri terjadi tahun 1928 ketika Sartre berusia 24 tahun. Sang ‘Castor’ (‘The Beaver’, Berang-berang), begitu julukan Sartre pada Simone, pun mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dalam waktu singkat, Sartre menjalin kisah asmara dengan Simone. Baginya, Simone adalah pengganti ibu-kakak yang selama ini hilang. Corak self-effacement yang sebelumnya diarahkan pada sang ibu kini diambil alih oleh Simone. Dan, dalam banyak hal Simone benar-benar berperan ganda sebagai ‘ibu Sartre’: ia mengatur jam mandi, jadwal berpakaian, dan bahkan jadwal pemakaian salep jerawat Sartre (!). Perlakuan seperti ini memenuhi salah satu neurotic should dalam corak self-effacement, yaitu mitra yang akan mengurus kehidupan. Akan tetapi, meskipun Sartre merasa menemukan amour nécessaire (cinta yang tidak bisa tidak, cinta yang perlu dan dibutuhkan) dalam diri Simone, ia tidak lantas menjadi sang ‘pengemis cinta’. Sebaliknya, setelah mereka berdua lulus ujian agrégation filsafat di ENS pada tahun 1929—dengan Sartre menduduki peringkat pertama dan Simone peringkat kedua—corak resignation Sartre tetap terasa begitu kental. Hal ini dapat dilihat ketika ia menawarkan suatu ‘pakta percintaan’ pada Simone: mereka sepakat untuk hidup bersama secara bebas, transparan, tanpa menikah, tanpa anak. Dengan prinsip transparansi, keduanya bebas berpacaran dan have sex dengan siapa pun asalkan saling memberitahu apa yang dilakukan (!)—sungguh suatu gebrakan atas moralitas konservatif kaum borjuis. Dengan begitu, wanita dan pria lain yang mereka kencani adalah sekadar amours contingentes; cinta-cinta yang kontingen, ada begitu saja, sewaktu-waktu bisa berubah. Pola seperti ini lagi-lagi merupakan indikator corak resignation, dalam arti ketiadaan komitmen atau ikatan (detachment, independence) dalam suatu hubungan interpersonal. Singkatnya, hanya ada satu komitmen, yaitu “tidak ada komitmen”. Setelah mereka berdua terpisah karena Sartre harus menjalani masa wajib militer selama delapan belas bulan, pada tahun 1931 Sartre menerima tawaran mengajar filsafat di SMA khusus laki-laki, François Ière di kota pelabuhan Le Havre, sementara Simone mengajar di SMA khusus perempuan di Rouen, dekat Le Havre. Di sinilah Sartre sungguh mengajarkan dan memraktekkan hidup eksistensialis. Ia memperbolehkan murid-muridnya merokok, mengajari mereka seperti teman sendiri, berdiskusi di bar sambil minum bir, dan pergi ke rumah bordil tanpa sembunyi-sembunyi. Dengan semangat resignation ia menekankan kebebasan, ketaktergantungan (independence) diri sendiri; masa bodo dengan aturan moral kaum borjuis. Agaknya pendirian Sartre ini juga dilatarbelakangi kebencian pada gaya hidup borjuis ayah tirinya yang dulu melecehkan narcissistic expansion-nya itu. Meskipun populer di kalangan murid, akhirnya Sartre dipecat. V. SARTRE DALAM TRIO AMOREUX: MENCINTAI, MENDOMINASI, SEKALIGUS MENGABAIKAN Sepanjang hidupnya, Sartre terlibat affairs dengan banyak gadis. Selama mengajar di Le Havre, ia diperkenalkan oleh Simone dengan Olga Kosakiewics, salah satu siswi Simone di Rouen. Setelah trio pertama Sartre-Simone-Olga berakhir, giliran Wanda, adik perempuan Olga, masuk ke dalam lingkaran duo Sartre-Simone. Ironisnya, Simone, yang ternyata juga lesbian, terlebih dulu ‘menikmati daging-daging segar’ para siswinya sebelum memberikannya kepada Sartre. Di samping para perempuan contigentes di atas, kisah trio amoreux yang paling menghebohkan barangkali adalah trio Sartre-Simone-Bianca. Bianca Lamblin, gadis 16 tahun keturunan Yahudi dari Polandia, adalah juga salah satu siswi Simone. Karena kekagumannya akan cara mengajar guru filsafatnya itu, Bianca terlibat dalam hubungan yang lebih intens dengan Simone. Lama-lama, hubungan mereka berdua bukan lagi seperti guru dengan murid. Bianca sendiri mulai berkenalan dengan konsep seks bebas dan menganggap homoseksualitas itu wajar—hal mana yang dipraktekkan guru yang dikaguminya itu. Puncaknya, pada usia 17 tahun ia berhubungan seks dengan Simone. Pada tahun 1938, Simone ‘menggiring’ Bianca pada Sartre. Ia paham betul perangai Sartre yang selalu tergila-gila pada gadis baru. Demikianlah, Bianca pun juga mengagumi Sartre yang kejeniusannya mengalahkan ‘wajah kodok’-nya itu. Sartre sendiri terpesona dan mengencani Bianca dengan cara-cara yang romantis. Setelah menyatakan cintanya pada gadis belia itu, Sartre mengajak Bianca ke hotel untuk ‘menyempurnakan’ cinta mereka. Bencana. Di ranjang, Bianca merasa Sartre tidak sehangat biasanya. Ia bingung dan takut; ia merasa tengah dikasari. Akan tetapi, usai hubungan itu, ia merasa tetap terikat secara emosional dengan duo Sartre-Simone. Sartre sendiri selalu menyanjung Bianca dalam surat-surat cinta yang ia tuliskan. Maka, Bianca percaya ia tetap menjadi bagian dari trio tersebut. Pengalaman paling menyakitkan terjadi ketika Hitler menyerbu Perancis, 1939. Terancam oleh identitas Yahudinya, Bianca malah diputus oleh Sartre tanpa alasan sedikit pun. Ketika akhirnya Bianca dapat bertemu Sartre, April 1940, Sartre hanya menjawab, “Saya tenang, karena saya yakin bahwa kamu akan bisa mengatasi kesedihanmu.” Tak disangka, di tengah situasi politik yang mengancam itu, Sartre tetap mengutamakan ‘ketenangan dirinya sendiri’, tanpa menaruh banyak perhatian pada mantan kekasihnya itu (not have to adjust to anyone else’s needs); atau setidaknya, orang-orang yang menderita akibat perang. Dari pengalaman Bianca di atas, kita dapat melihat kombinasi kepribadian Sartre dalam relasi interpersonal dengan para wanita (dan gadis). Ia mencintai mereka (self-effacement, moving toward others), ia ingin menaklukkan mereka (expansion, moving against others), tetapi secara paradoksal ia sekaligus tidak ingin terikat pada mereka (resignation, moving away from others). Dari para wanita itu, Sartre ingin dicintai dan berhubungan seks (self-effacement). Namun, dalam relasi cinta tersebut ia hanya mau berada di posisi yang dominan. Dengan menulis surat cinta dan kencan romantis, ia mengontrol Bianca agar tetap ‘tunduk’ padanya (expansion). Pada akhirnya, meskipun orang lain terikat pada dirinya, ia sendiri tidak mau memiliki komitmen yang sama (resignation). Sartre sendiri berkilah,
“Kesadaran bebas manusia tidak bisa mengikatkan dirinya pada sebuah janji/sumpah apa pun. Karena janji adalah sesuatu di masa depan, sedangkan kebebasan tidak bisa dipinjamkan kepada masa depan. Itulah sebabnya manusia bebas tidak bisa berjanji/bersumpah.”
Konsekuensi dari ‘pakta percintaan’ Sartre-Simone memang besar (dan keterlaluan?). Orang ketiga di luar lingkaran mereka sungguh-sungguh dianggap liyan yang kontingen; ada begitu saja, bisa pula tidak ada. Olga, Winda, dan Bianca adalah wanita-wanita kontingen yang bisa dipakai dan dibuang begitu saja, setiap saat. Dan, sekali lagi, Sartre menjalankan corak resignation secara konsisten. VI. SARTRE DALAM DUNIA POLITIK Sikap hidup Sartre dalam menanggapi dinamika politik dunia dapat memberikan kesan membingungkan karena ambivalensi alias ketidakjelasan sikap yang ia ambil. Misalnya saja, pada tahun 1933-1934, Sartre pernah tinggal di Berlin untuk mempelajari fenomenologi Husserl di French Institute. Pada masa itu, Hitler sedang gencarnya mengumpulkan kekuatan untuk memulai proyek aryanisasi di bidang politik, sosial, dan budaya. Namun, Sartre justru tidak sadar akan adanya bahaya yang mengancam. “Inilah yang saya lakukan di Jerman, dari pagi sampai jam 2 siang: filsafat. Lalu saya makan siang. Jam lima sore sampai malam: kesusasteraan, saya kembali ke pekerjaan saya menulis la Nausée.” Celakanya, Sartre pun masih tidak percaya ketika Hitler sampai menyerang Perancis pada tahun 1939. Sartre seakan hanya berkutat pada dunianya sendiri (moving away from others), pada perfect serenity-nya sendiri. Ia tidak merasa perlu terlibat (detachment) dengan lingkungan sekitarnya; terbebas dari kehendak dan obsesi (free of desires and passions) zamannya. Selain itu, sejak tahun 1952 Sartre memuja komunisme (barangkali sebagai perwujudan kebenciannya atas kaum borjuis). Ia mendukung habis-habisan rezim diktatorial URSS. Tetapi, baru pada tahun 1956, ketika URSS menyerbu Budapest, Hongaria, Sartre menyadari kesalahannya. Kesalahan yang sama diulanginya ketika ia mendukung Revolusi pimpinan Fidel Castro di Kuba—barulah pada tahun 1971 Sartre menarik kembali dukungannya. Celakanya, ia salah pilih kembali dengan mendukung Mao Zedong di Cina. Padahal, ia pernah menulis, “kepentingan partai atau kepentingan revolusi sering disalahgunakan untuk menjustifikasi apa pun.” Ambivalensi sikap Sartre agaknya bisa dijelaskan dengan dalih yang sama seperti yang ia pakai dalam hubungan dengan wanita: manusia tidak bisa membuat janji. Sikap hidup yang bercorak resignation sungguh menghambatnya untuk benar-benar terlibat dengan orang lain dan lingkungannya. Baginya, peristiwa politik pun hadir dalam kontingensi; bisa ada, bisa pula tidak ada. Jadi, untuk apa berlelah-lelah menceburkan diri dalam lautan kontingensi, jika itu hanya merusak perfect serenity diri sendiri? VII. EKSISTENSIALISME À LA SARTRE: PENGEJAWANTAHAN CORAK RESIGNATION Di ranah filsafat, Sartre mengristalisasi pemikirannya akan eksistensi yang kontingen dan konsekuensinya atas relasi interpesonal melalui tulisan-tulisan. Sepanjang hidup hingga kematiannya, ia menghasilkan banyak karya-karya yang termasyhur: roman La Nausée (Rasa Muak, 1938); disusul naskah sandiwara Les Mouches (Lalat-lalat, 1943) dan Huis Clos (Pintu-pintu Tertutup, 1944); eksposisi L’Être et le Néant (Keberadaan dan Ketiadaan, 1943) dan L’Existentialisme est un humanisme (Eksistensialisme itu Humanisme, 1946); dan otobiografi Les Mots (Kata-kata, 1963). Bukan pada tempatnya penulis membahas secara mendetail perkembangan pemikiran filsafat (dan politik) Sartre. Poin terpenting ialah penulis ingin menunjukkan bahwa sikap hidup eksistensialis à la Sartre yang cenderung individualis, bebas, mandiri, tidak mau terikat pada liyan (baik orang lain maupun Tuhan), mengganggap liyan adalah “neraka”, dan bertanggung jawab pada diri sendiri (bukan pada aturan moral kaum borjuis), sungguh mencerminkan, dalam terminologi Karen Horney, corak resignation (moving away from others). Basic anxiety dan basic hostility yang dialami selama masa kecil bukan tidak mungkin menjadi fondasi psikologis utama yang membangun filsafat eksistensialisme Sartre. Sesungguhnyalah, kita dapat menarik benang merah dalam hal psikologi kepribadian Sartre yang terjalin sejak masa kanak-kanak hingga masa dewasa; teristimewa apabila kita berasumsi bahwa pemikiran seorang filsuf pasti dilatarbelakangi pengalaman hidupnya. Sartre bisa saja menolak faktor psikologis ini; tetapi, toh, sejarah menunjukkan bahwa Sartre tidak sendirian—Platon menolak demokrasi karena demokrasi-lah yang membunuh Sokrates, Agustinus menekankan rahmat Tuhan setelah bertobat dari kehidupan immoralnya, Emmanuel Lévinas menuntut kepedulian atas orang lain setelah keluarganya dibantai Nazi, dan Karl Marx membenci kaum kapitalis karena mengisap kaum buruh. Oleh sebab itu, kita dapat menyimpulkan, dari perspektif Karen Horney, bahwa kepribadian Sartre dan seluruh bangunan filsafatnya akan kontingensi dan kebebasan memiliki corak umum resignation.[] ===== taken from: http://hirekaeric.wordpress.com/2009/07/25/jean-paul-sartre-kepribadiannya-dari-perspektif-karen-horney/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H