[caption id="attachment_97026" align="aligncenter" width="500" caption="Seorang pastor memberikan homili."][/caption] Homili itu penting. Tetapi sayang, kualitas homili bermacam-macam. Banyak pastor yang homilinya menarik, tetapi lebih banyak lagi yang ngga menarik. Menarik-ngga menariknya homili bisa dilihat dari seberapa sering umat itu teralihkan perhatiannya (SMS-an, ke toilet, ngelamun, menguap, tidur, ngobrol dengan teman sebelah, baca-baca Warta Paroki, dll.) Dari dulu sampai sekarang penyebab masalah itu sama saja kok; klasik, tidak berubah.... misalnya: (a) Homili seperti kuliah kitab suci PL & PB. Padahal, tidak semua umat mengerti soal seluk-beluk Kitab Suci. Menurut saya, homili bukan murni ajang penafsiran Kitab Suci, lho (mengawang-awang di "dunia" idea Platon)... (b) Homili berbicara tentang apa yang semua orang sudah tahu. Misalnya, perumpamaan tentang anak yang hilang. Si pastor lantas menyimpulkan, kita harus seperti Bapa yang baik yang mau mengampuni bla-bla-bla.... eta mah nini-nini kayang oge nyaho! Jadi, tidak ada kesan khusus terhadap isi homili... (c) Homili tidak punya inti. Berkhotbah ke sana ke mari tapi tidak jelas apa, sih, pesannya. Dan homili sering tidak relevan pula dengan situasi dan kondisi. (d) Masalah teknis: homili terlalu panjang. Lima belas menit seharusnya sudah cukup, apalagi bagi umat kalangan urban (kalau umat di desa, 20-30 menit agaknya masih oke). Lebih lama dari itu, bokong umat bakal kepanasan dan "gelisah". Nah, sebagai umat yang peduli, saya juga bertanya-tanya bagaimana caranya agar para pastor bisa meningkatkan kualitas homili. Saran-saran saya begini: (a) Sifat homili idealnya INDUKTIF, bukan DEDUKTIF. Maksudnya, homili yang induktif itu dimulai dari contoh-contoh partikular, pengalaman sehari-hari yang menarik, lalu diangkat ke dalam bacaan Kitab Suci hari itu. Homili yang deduktif akan mulai dari teori-teori, dogma-dogma, dokumen-dokumen konsili yang kadang-kadang tidak menarik. Kalau awalnya sajasudah nggak nampol, orang pasti jenuh.... Jadi, kata kuncinya: RELEVANSI (b) Homili boleh disisipi humor, tetapi tidak selamanya humor itu bagus untuk homili. Homili itu bukan Opera van Java. (c) Selalu gali teks bacaan lebih dalam. Hindari mengatakan apa yang orang-orang seantero dunia ini sudah tahu... (d) Pastor-pastor kadang tidak memiliki gereget dalam berhomili. Ekspresi standar, tanpa gairah (kontras dengan banyak pendeta Protestan yang berapi-api). Maka, BAHASA TUBUH itu penting, bahkan bisa lebih penting daripada isi homili itu sendiri. It is not about WHAT you're going to say but HOW you'll say it. Maka, adalah ide bagus untuk mengirimkan pastor-pastor ke pelatihan (training) komunikasi! (e) Akhirnya, ini bagian yang paling-paling-paling sulit, homili yang baik itu tidak hanya interesting, heart-touching, tetapi juga TRANSFORMING! Homili harus punya daya yang menggerakkan pendengar untuk mengubah diri mereka sehingga ketika misa selesai, mereka bukan lagi orang yang sama.... Harus kuakui, tidak semua pastor berkompeten soal poin yang satu ini.[] Kompasianer punya saran juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H