Mohon tunggu...
Hippie Hippo
Hippie Hippo Mohon Tunggu... -

Bukan hanya tubuh saja yang besar, hati dan jiwa pun BESAR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara

18 November 2013   09:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Kamu kenapa lagi? Matamu bengkak. Habis menangis ya?" cecarnya sambil mendekat dan mengamati wajahku yang sembab. Ku palingkan muka dan berjalan ke arah jendela, berharap angin sejuk pagi ini sedikit membuat tegangku mereda.

"Pasti ini gara-gara lelakimu bikin ulah lagi ya? Perempuan mana lagi yang dipamerkan kepadamu kali ini?" kudengar lagi tanyanya yang tanpa tedeng aling-aling dan mau tak mau kubalikkan badan menatap sosoknya yang berdiri beberapa langkah di depanku, sosok lesu dengan rambut kusut masai, senyum sinis tersungging di bibirnya yang kering.

Tetap tanpa kata ku tatap dia, kulihat setetes bulir bening meluncur perlahan di pipinya yang tirus. Ku mendekat dan spontan menyusut airmatanya. Aku tidak suka melihat wajahnya digenangi hujan tangis hanya karena kebodohanku.

"Sudahlah. Kalau memang dia menemukan sosok yang selama ini dia cari di wanita itu, aku rela walau harus sakit hati. Tak penting apa yang kurasa, asal dia bahagia," jawabku sambil merapikan rambutnya agar tak menutupi wajahnya yang semakin berubah kelam. Kusunggingkan senyum terpaksa, agar wajahnya ikut sedikit bersinar.

"Kau selalu saja begitu! Aku muak denganmu! Aku lelah melihatmu menangis. Aku tidak rela melihatmu dipermainkan. Aku tak sudi lagi mendengarmu mengeluh. Lalu saat lelakimu bosan dengan wanitanya dan memohon kembali padamu, engkau selalu saja memberi maaf lalu bersikap seolah lelakimu tak pernah menyakitimu. Tunggu saja ketika lelakimu mendapat mainan baru, kau akan diacuhkan lagi seolah kau tak ada. Dan apa yang bisa kau lakukan selain menyiksa diri, mengurung diri di kamar. Bahkan sesuap nasi pun tak kau sentuh. Lihatlah betapa meenyedihkannya dirimu," diseretnya aku ke depan kaca.

Plak! Sebuah tamparan melayang di pipiku. Aku tertegun, jatuh terduduk di tepi ranjang, menatap nanar ke dalam cermin. Kulihat diriku sendiri berperang dengan suara-suara di kepalaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun