Beberapa waktu ini, masyarakat di buat gembira oleh pemerintah, seolah-olah hal yang selama ini dianggap tabu, menjadi sesuatu yang “real” dan dapat di rasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Turunnya harga BBM ! ya, ini menjadi angin segar bagi kita, mengingat begitu banyak masalah yang melanda Negara ini akhir-akhir ini. Turunnya harga bbm khususnya premium, yang tidak tanggung-tanggung, mulai dari Rp.8500 hingga mencapai Rp.6600, menjadi berita berharga buat masyarakat, mengingat pada jaman presiden sebelumnya, terhitung sampai pemerintahan SBY berakhir, premium hanya turun 3 kali dengan kisaran total turun Rp1500, adapun sekarang dengan tidak membutuhkan waktu lama, pemerintah mampu menghadirkan kebahagiaan itu kembali. Berkaca pada hal ini, maka jelas masyarakat pun di buat terlena, sehingga menyebabkan kejanggalan-kejanggal fatal yang di buat oleh pemerintah pun terlewatkan dan dibiarkan mengalir begitu saja. Kejanggalan tersebut salah satunya mengenai statement pemerintah melalui Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang mengatakan bahwa harga BBM nasional disesuaikan dengan mekanisme harga pasar.
Dasar pemerintah akan kebijakan turunnya harga BBM adalah mengacu pada turunnya harga minyak dunia, yang kemudian hal ini terus di ulang-ulang pada tiap kesempatan sehingga menjadi statement pamungkas yang tidak dapat di elakkan kebenarannya oleh masyarakat. Tapi kemudian banyak sekali pertanyaan yang muncul berdasarkan alasan yang coba di bangun pemerintah tersebut, pertanyaan yang muncul pertama dan harus menjadi pondasi berfikir kita adalah apakah harga minyak dunia memang sedang turun atau dikarang belaka? Dan Sayangnya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah benar, harga minyak dunia terus anjlok dan mencapai titik terendah, bahkan pada saat tulisan ini di rilis, harga minyak dunia jenis Brent mencapai US$ 46,59 dan di prediksi akan terus turun.
Kemudian pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah kenapa harga minyak dunia bisa serendah itu? Beberapa analisa dari pakar-pakar energi dan ekonomi dunia mencoba menjelaskan jawaban dari pertanyaan ini, salah satu nya yang saya ambil adalah berdasarkan laporan dari International Energy Agency (IEA) yang mengatakan bahwa produksi minyak di amerika dan asia pasifik yang meningkat hingga mencapai titik tertinggi, namun tidak di imbangi dengan permintaan kebutuhan minyak tersebut sehingga menyebabkan supply dan demand tidak stabil. Dari data tersebut, maka tak dapat di pungkiri minyak dunia dipastikan turun.
Turunnya minyak dunia ini tentu berdampak pada perkembangan ekonomi dunia, salah satu dampak yang di timbulkan adalah munculnya beberapa pihak yang akhirnya mengalami kerugian sangat besar, yang tidak lain dalam kasus ini adalah negara pengekspor minyak. Adapun hal ini di dasarakan oleh kalkulasi biaya yang harus di keluarkan untuk eksploitasi minyak hingga produksi minyak tidak sebanding dengan harga penjualan minyak yang di hasilkan, menurut Haryo (CSIS) Negara pengekspor minyak mengalami defisit yang besar dengan harga minyak di titik US$ 46,59, sebagai contoh negara Arab Saudi yang sebenarnya memerlukan harga minyak US$ 92, Iran yang seharusnya US$ 136, ataupun Venezuela yang seharusnya US$ 117 untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya.
Di dasarkan oleh fakta di atas maka jika di coba untuk di analisa, muncul suatu keganjilan yang kemudian menjadi misteri sehingga perlu di pecahkan secara bersama, keganjilan terebut meliputi peristiwa turunnya harga minyak dunia, hingga keluarnya kebijakan pemrintah baru-baru ini. Adapun keganjilan yang saya maksud tersebut, yaitu :
Pertama, fakta Negara-negara pengeskpor minyak tersebut mengalami kerugian besar adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan, secara analogi sederhana, seorang penjual kue tidak akan sanggup menjual kue nya jika jumlah yang harus di keluarkan untuk beli bahan, pengolahan, dan sebagainya lebih besar dari pada harga kue yang di jual ke masyarakat, dan jika memang terjadi demikian, penjual kue tersebut jelas akan berhenti berjualan, atau minimal mencari solusi untuk memperoleh keuntungan.
Namun analogi di atas anehnya tidak sejalan dengan apa yang terjadi di Negara-negara pengekspor minyak, kerugian yang telah hadir di depan mata, membuat mereka tetap bergeming. Negara-negara pengekspor minyak seperti arab Saudi, Kuwait, dll yang tergabung dalam OPEC, sampai saat ini tidak mau melakukan suatu langkah efektif guna menstabilkan harga minyak dunia, Adapun rekomendasi oleh para ahli ekonomi, yaitu memotong jumlah produksi minyak mereka pun tidak dilaksanakan. Padahal faktanya adalah jika mereka memotong jumlah produksi minyak mereka, maka supply dan demand minyak dunia akan seimbang, yang akan berimbas pada stabilnya harga minyak dunia.
Keengganan OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia inilah yang menjadi keganjilan pertama akan peristiwa turunnya harga minyak dunia dewasa ini.
Kedua, keganjilan selanjutnya adalah menyangkut kebijakan pemerintah akan turunnya harga BBM, sebagai pengingat, saya akan bertanya kepada anda, sadar tidak kalau kebijakan pemerintah ini berupa kebijakan dua kaki?
Oke, saya coba jelaskan dengan logika, kebijakan dua kaki yang saya maksud adalah pada saat yang sama pemerintah mengeluarkan dua kebijakan, yang antar kebijakan tersebut saling mendukung walaupun berdampak saling bertolak belakang. Kebijakan yang pertama adalah pemerintah mencabut subsidi BBM yang berdampak turunnya harga BBM, kebijakan kedua pemerintah melempar harga minyak nasional ke pasar.
Jika kita coba memisahkan kedua kebijakan ini, maka kita akan sadar bahwa dua kebijakan tersebut seperti dua mata pisau yang di gunakan dengan cara yang berbeda. Kebijakan mencabut subsidi BBM adalah kebijakan yang sudah lama di sarankan oleh ahli energi bangsa, sejauh ini setahu saya tidak ada pakar energi mana pun di Indonesia yang tidak setuju akan hal ini, mengingat pembangunan infrastruktur kita yang lamban, kondisi resources kita semakin menipis, masyarakat yang menjadi boros, dan alasan-alasan lainnya, yang pada kesempatan kali ini tidak akan saya bahas panjang lebar. Namun hal ini tidak sejalan dengan output kebijakan kedua, dimana pemerintah secara terang-terangan mengatakan melempar harga minyak nasional ke pasar, menurut data yang saya himpun, baru kali ini pemerintah secara terbuka mengatakan bahwa kebijakan yang di keluarkan pemerintah “pro kapitalis”. Dimana, dampak dari kebijakan ini, membuat Negara kita tidak mampu berdaulat dalam mengelola keuangan migas-nya, harga minyak nasional dibuat mengambang sehingga akan berdampak pada perencanaan infrastruktur, dan menyulitkan pengendalian inflasi, Pengamat ekonomi Sumut Gunawan Benjamin mengatakan Membiarkan harga BBM mengambang sebuah hal baru bagi masyarakat kita. Dan di satu sisi masyarakat membutuhkan yang namanya kepastian atau kejelasan terkait dengan harga-harga yang berlaku untuk menjamin bahwa naik turunnya harga BBM akan diikuti dengan pola kenaikan atau penurunan yang sama bagi sejumlah harga kebutuhan masyarakat, beliau pun menambahkan Jika harga BBM dinaikkan atau diturunkan secara mengambang, maka sebenarnya akan memicu terjadinya ekspektasi pembentukan harga yang mengacu kepada harga pasar.
“Bagaimana caranya kita membangun Negara dengan membiarkan Negara kita sendiri tidak berdaulat?”
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah jadi hubungannya apa? Apa hubungan antara harga minyak dunia turun, opec tidak mau menurunkan produksinya, turunnya BBM di Indonesia, dan kebijakan melempar harga minyak dunia ke pasar?
That’s the answer, jawaban itu muncul bersamaan dengan munculnya pertanyaan itu !
Dasar logika yang dapat menyimpulkan semua peristiwa di atas adalah “created by design”, perhatikan skema berikut ini :
Booming oil => harga minyak dunia turun => opec tidak menurunkan produksinya => pemerintah cabut subsidi bbm => harga minyak Indonesia di lempar ke pasar
Dari skema di atas maka terbaca, tujuan dari semua kekacauan, pergelutan, kerancuan selama ini adalah kapitaslisasi harga migas dunia !
Kesimpulan tersebut bisa kita dapatkan dari hasil analisa dampak yang terjadi di Negara kita. Kebijakan melempar harga minyak ke pasar adalah buah dari kapitalisasi minyak nasional, faktanya kebijakan ini akan terkesan asing bagi telinga masyarakat Indonesia, beberapa pihak telah mewanti-wanti agar jangan sampai kita terjerumus ke jurang kapitalisme, namun pemerintah begitu berani menyampaikan hal tersebut, mengapa? Yaa jelas karena kebijakan ini diimbangi dengan turunnya harga BBM, yang secara langsung dapat melegakan hati masyarakat, sehingga perumpaan yang menggambarakan kondisi ini adalah “yaa tidak masalah kan? Toh harga BBM jadi turun”. Lalu mengapa mencabut subsidi mengakibatkan harga BBM nasional turun? Yaa jelas, karena sebelumnya harga minyak dunia turun ! dan mengapa harga minyak dunia turun? Yaa jelas, karena OPEC tidak mau nge-cut produksinya padahal supply jauh melebihi demand. See?
Jawaban di atas inilah, yang selama ini menjadi misteri bagi saya, yang akhirnya terpecahkan dengan logika sederhana.
Dalam tulisan ini, saya menyatakan bahwa ini sekedar opini dan buah pemikiran saya, dengan tidak menuduh pihak mana pun, bagi saya tujuan kita bernegara adalah satu, mewujudkan kedaulatan bangsa !
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, terima kasih
Hendarko Hinu Hardhanto
Koordinator Together We Save Energy Community
[caption id="attachment_346760" align="aligncenter" width="576" caption="Together We Save Energy"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H