Mohon tunggu...
Hindun Hindun
Hindun Hindun Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hallo Saya Hindun, saya ingin suka menulis dan memperbanyak sharing ilmu pengetahuan Mari kita belajar bersama!1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lawan Jadi Kawan?: Analisis Kebijakan Luar Negeri Korea Selatan dalam Mengatasi Ancaman Nuklir

13 September 2024   12:42 Diperbarui: 13 September 2024   13:12 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Hubungan Korea Selatan dan Jepang ditandai oleh sejarah yang kompleks dan penuh ketegangan, terutama berakar dari masa pendudukan Jepang atas Korea (1910-1945). Seperti dijelaskan pada artikel yang berjudul "Japan and Korea: A Turbulent History" bahwa pengalaman kolonial ini meninggalkan luka mendalam yang masih mempengaruhi hubungan kedua negara hingga sekarang. Meskipun telah ada upaya normalisasi hubungan pada tahun 1965 akan tetapi, berbagai keadaan tetap menghambat terciptanya hubungan yang harmonis seperti kontroversi buku teks sejarah, masalah "wanita penghibur", dan sengketa teritorial atas Pulau Dokdo/Takeshima, serta beberapa Insiden politik seperti penculikan Kim Dae-jung pada tahun 1971 dan percobaan pembunuhan Presiden Park Chong-Hui pada tahun 1974 yang turut memperkeruh hubungan bilateral kedua negara. (Young, n.d., 11)

Namun, di tengah ketegangan politik antara Jepang dan Korea Selatan telah dikembangkan hubungan ekonomi yang erat, seperti pada tahun 1990 mereka menjadi mitra dagang utama satu sama lain. (Young, n.d., 15) Kini, ancaman nuklir dari Korea Utara telah menjadi faktor baru yang mempengaruhi dinamika hubungan antara Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara kini menghadapi tantangan bersama yang mungkin dapat mendorong mereka untuk mengesampingkan perselisihan masa lalu dan bekerja sama demi keamanan regional.

Merespons ancaman yang meningkat dari kerja sama nuklir Korea Utara-Rusia, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang telah mengambil langkah signifikan untuk memperkuat kerja sama trilateral mereka. Pada Pertemuan Menteri Trilateral di Tokyo 28 Juli 2024, ketiga negara mengekspresikan keprihatinan serius atas "Perjanjian Kemitraan Strategis Komprehensif" antara Rusia dan Korea Utara. Sebagai respons, mereka mengambil beberapa langkah yaitu Menandatangani Memorandum Kerjasama tentang Kerangka Kerja Sama Keamanan Trilateral atau Trilateral Security Cooperation Framework (TSCF) yang melembagakan konsultasi kebijakan, berbagi informasi, dan latihan bersama, lalu mereka akan melaksanakan latihan trilateral multi-domain "FREEDOM EDGE", dan berkomitmen untuk mengadakan Pertemuan Menteri Trilateral secara rutin dan bergiliran. ("United States-Japan-Republic of Korea Trilateral Ministerial Meeting" 2024) Melihat bagaimana sejarah yang dilalui oleh Korea Selatan Dan Jepang Serta apa yang saat ini mereka hadapi, maka tulisan ini akan menganalisis mengenai "mengapa Korea Selatan rela bekerja sama dengan Jepang padahal masih dihantui rivalitas masa lalu?"

Kondisi Politik Domestik Korea Selatan

Kondisi politik domestik Korea Selatan saat ini sangat dipengaruhi oleh Partai Kekuatan Rakyat (People Power Party - PPP), partai konservatif yang berkuasa di bawah kepemimpinan Presiden Yoon Suk Yeol. (Pope and Voget 2024) Ideologi PPP cenderung pro-bisnis, mendukung aliansi keamanan yang kuat dengan Amerika Serikat, serta mengadopsi sikap tegas terhadap ancaman Korea Utara. Di bawah pemerintahan presiden Yoon, kebijakan luar negeri Korea Selatan mengalami pergeseran signifikan terutama dalam upaya memperkuat kerjasama trilateral dengan Amerika Serikat dan Jepang. Presiden Yoon, yang menjabat sejak Mei 2022, memiliki pendekatan yang pragmatis dan berorientasi pada keamanan nasional. (Pope and Voget 2024) Ia memprioritaskan aliansi dengan AS serta menekankan pentingnya hubungan yang lebih baik dengan Jepang meskipun masih ada ketegangan historis antara kedua negara. Presiden Yoon menunjukkan kemauan untuk mengatasi masalah masa lalu demi kepentingan strategis, seperti menghadapi ancaman nuklir Korea Utara dan meningkatnya pengaruh China di Asia Timur, kebijakan ini mencerminkan keyakinannya bahwa kerjasama trilateral Korea Selatan, Jepang, dan AS sangat penting untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan kekuatan di kawasan. (Pietrewicz 2022) Meskipun kebijakan ini mendapat tantangan dari publik yang masih menyimpan sentimen negatif terhadap Jepang, presiden Yoon beserta jajarannya bersedia mengambil risiko politik demi keamanan nasional yang lebih besar.

Analisis Neoliberalisme dan Neo klasikal Realisme

Ketika menganalisis dinamika hubungan Korea Selatan-Jepang dalam konteks kerja sama Korea Utara-Rusia, perspektif Neorealisme memberikan penjelasan yang meyakinkan. Mengacu pada karya Victor D. Cha "Alignment Despite Antagonism: The United States-Korea-Japan Security Triangle" (1999), keputusan Korea Selatan untuk bekerja sama dengan Jepang meskipun adanya rivalitas historis dapat dipahami melalui lensa keamanan strategis. Argumen Cha tentang "Alignment Despite Antagonism" sangat relevan dalam situasi ini. Meskipun ada sentimen anti-Jepang yang kuat di Korea Selatan akibat warisan kolonial, ancaman yang ditimbulkan oleh aliansi Korea Utara-Rusia dipersepsikan sebagai hal yang lebih mendesak. Ini mencerminkan prinsip Neorealisme yang menekankan prioritas keamanan nasional dalam sistem internasional yang anarkis(Cha, 1999).

Kerja sama Korea Selatan-Jepang merupakan upaya perimbangan kekuatan di kawasan Asia Timur Laut, menjadi cara untuk mengimbangi pengaruh dan kekuatan gabungan Korea Utara-Rusia. Hal ini menggambarkan contoh nyata dari negara-negara yang berusaha memaksimalkan kapabilitas mereka untuk bertahan hidup, sesuai dengan prinsip Neorealisme(Cha, 1999). Aliansi Korea Utara-Rusia menciptakan dilema keamanan bagi Korea Selatan, mendorong negara tersebut untuk mencari sekutu yang kuat, bahkan jika itu berarti bekerja sama dengan mantan penjajah. Dalam perspektif Neorealis, rasa tidak aman yang dihasilkan oleh ancaman eksternal dapat mengatasi hambatan kerja sama yang berakar pada sejarah. Amerika Serikat juga memiliki peran penting dalam mendorong kerja sama ini. Sebagai sekutu bersama, AS bertindak sebagai "penjamin keamanan" dan "penengah" yang memfasilitasi kerja sama Korea Selatan-Jepang, sejalan dengan konsep neorealis tentang aliansi sebagai instrumen untuk meningkatkan keamanan kolektif(Cha, 1999). Dengan demikian, analisis Neorealis memberikan kerangka yang kuat untuk memahami keputusan Korea Selatan bekerja sama dengan Jepang sebagai respons rasional terhadap perubahan dinamika keamanan regional, meskipun tantangan seperti sentimen publik dan warisan sejarah tetap ada.

Perspektif Neoclassical realism menjelaskan keputusan Korea Selatan bekerja sama dengan Jepang meski masih ada rivalitas historis, sebagai hasil interaksi antara tekanan eksternal dan faktor domestik dalam pembuatan kebijakan. Ancaman nuklir Korea Utara menjadi tekanan eksternal signifikan yang mendorong kedua negara mengesampingkan perselisihan demi menghadapi ancaman bersama. Teori ini menekankan bahwa ancaman keamanan memaksa negara-negara menyesuaikan kebijakan luar negeri mereka, menjadikan kerjasama pertahanan Korea Selatan-Jepang strategi rasional untuk meningkatkan keamanan nasional. Faktor domestik juga berperan penting, melalui persepsi elit politik Korea Selatan terhadap ancaman Korea Utara menjadi variabel kunci dalam kesediaan mereka bekerja sama dengan Jepang(Rose, 1998). Para pembuat kebijakan menyadari perlunya aliansi yang lebih kuat, termasuk dengan Jepang yang memiliki kapabilitas militer dan ekonomi signifikan. Meski ada sentimen nasionalis yang menentang, elit politik berusaha mengelola opini publik dengan menekankan prioritas stabilitas dan keamanan regional. Ini mencerminkan dinamika unit-level intervening variables, di mana kebijakan luar negeri bergantung pada cara pemimpin menerjemahkan tekanan eksternal ke kebijakan domestik(Rose, 1998).

Dengan menggunakan kacamata neoclassical realism disimpulkan bahwa kombinasi tekanan eksternal, persepsi elit politik, dan kapasitas negara mendorong Korea Selatan telah mengesampingkan konflik historis demi kerjasama keamanan regional dengan Jepang. Perspektif ini menyediakan kerangka analisis komprehensif untuk memahami dinamika kompleks di balik keputusan tersebut, menjelaskan bahwa kerjasama ini tidak hanya didorong oleh tekanan sistem internasional, tetapi juga oleh interpretasi pemimpin Korea Selatan terhadap tekanan tersebut dengan mempertimbangkan faktor domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun