Pagi itu hari sudah disambut oleh hujan deras. Di bulan Juli hujan monsoon yang mengguyur Yangon sedang deras-derasnya, sudah seperti air tumpah begitu saja dari langit. Beberapa orang wisatawan asing yang terpaksa meneduh di sebuah kedai teh di pinggir jalan terdengar menggerutu. Mereka berpendapat hari itu hujan turun terlalu pagi dari ramalan yang menyebutkan hujan baru turun sore harinya.
Beruntung aplikasi taksi daring sudah beroperasi di ibukota negara tetangga Myanmar tersebut, maka diputuskan perjalanan selanjutnya tidak jadi diteruskan dengan jaringan kereta dalam kota (Yangon Circular Railway). Taksi datang tak lama setelah habis secangkir teh susu (mirip dengan teh tarik di Medan, termasuk pembuatannya).
Agenda hari itu adalah pertemuan dengan ibu Prof. Dr. Mo Mo Thant, Kepala Bidang Studi-Studi Sejarah University of Yangon. Dari kunjungan tahun lalu tersebut didapat satu pengetahuan yang sangat berharga terutama bagi studi masyarakat dan agama Buddha bermahzab TheravAda, pengetahuan itu berbentuk sembilan jilid buku terjemahan bahasa Inggris dari BuddhavaMsa.
[...] memerangi ego (Atman), sederhana namun sangat sulit dipahami.Â
BuddhavaMsa adalah sebuah kronik, babad atau riwayat. Belakangan diketahui kronik, yang disusun oleh Bikkhu Yang Mulia TipiTakadhara MiNgun Sayadaw dari Myanmar ini, juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam tiga jilid dengan judul "Riwayat Agung Para Buddha".
Tahun ini Hari Raya Waisak jatuh pada tanggal tujuh Mei kemarin, harinya hari Kamis. Bila merujuk pada kronik BuddhavaMsa bab Sembilan, di mana digambarkan, bahwa pada hari Kamis di bulan AsAlha, lima puluh hari setelah  Kebuddhaan (buddhatta) dicapai pada satu malam Rabu purnama di bulan VesAkha Buddha bangkit dari duduknya lalu menuju pohon banyan untuk kembali duduk bersila.
Beliau merenungkan Dhamma.
Di dalam renungan itu ada satu pesan yang sangat bernilai sosial. Dalam pengertian sosial atau kemasyarakatan, pesannya yaitu memerangi ego (Atman), sederhana namun sangat sulit dipahami. Kesulitan untuk memahami dimungkinkan, bila pikiran seseorang masih mengutamakan mengikuti hasrat (tRSNA) lewat pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan rasa dan sentuhan fisik.
Semuanya melekat pada diri manusia sebagaimana mata, telinga, hidung, lidah dan kulit, yang menjadi bagian lahiriah (rUpa) pada diri manusia. Jadi tidak dapat dipungkiri, kalau hasrat ini hanya berdasar pada diri sendiri/ ego, menyesuaikan apa yang dirasa nikmat oleh pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan lidah dan sentuhan sendiri.
Dalam ajaran Buddha untuk hal ini sangat jelas, bahwa hasrat ini bersifat fana (anitya) dan karenanya membawa penderitaan (duHkha). Pengertiannya adalah, untuk memenuhi keinginan-keinginan sendiri tentu orang akan mengabaikan orang-orang lain di sekitarnya.