Merujuk judul di atas, memang sampai hari ini paling tidak belum terlihat ada langkah-langkah signifikan dari Pemerintah untuk mengambil langkah menuju reshuffle kabinet. Namun, sejak awal pada pengenalan kabinet Indonesia Maju di Istana Negara ada peringatan Kepala Negara. Bunyinya sebagai berikut:
"[...] saya pastikan yang nggak serius, nggak sungguh-sungguh, hati-hati bisa saya copot di tengah jalan.[...]" (lihat).
Maka satu hal yang pasti, bahwa opsi reshuffle itu ada dan selalu terbuka kemungkinannya. Tapi apa dasarnya?
Kalau dihitung, beberapa hari yang lalu umur kabinet ini baru mencapai 100 hari. Hitungan 100 hari ini menjadi trend perbincangan di masyarakat. Konon, bersama kabinet ini banyak harapan masyarakat belum tercapai.
Nampaknya kini lebih banyak anggota masyarakat menaruh harapan kepada kepemimpinan beliau. Paling tidak bila dilihat dari meningkatnya jumlah pemilih Presiden Joko Widodo dalam Pemilu tahun kemarin dibanding dengan Pemilu Presiden 2014.
Naiknya angka pemilih, sedikit-banyak, juga datang bersama naiknya jumlah macam dan ragam harapan baru, di samping harapan dari mereka yang pada periode sebelumnya sudah mempercayai kemampuan Kabinet Kerja 2014 - 2019.
Namun, tidak semua harapan dari mereka yang berubah pikiran ini terpenuhi dalam 100 hari.
Inilah salah satu tugas utama Kabinet Indonesia Maju, yaitu untuk menjemput harapan mereka yang sebelumnya tak 'terrangkul' untuk naik sejajar dengan yang lain.
Kalau dilihat ke belakang, ketidak-percayaan mereka sebelumnya memang masih didominasi oleh isu-isu ketertinggalan di bidang ekonomi, bila melihat di segmen masyarakat mana menurunnya kepercayaan rakyat terhadap ideologi negara Pancasila (lihat).
Dan secara tidak langsung menurunkan kepercayaan terhadap pemerintah yang terus ingin membumikannya.
Ramainya jargon politik seperti 'turunkan harga' dan 'keberpihakan' mengindikasikan adanya harapan yang dibangkitkan oleh buaian nostalgia akan gemilangnya masa lampau. Yaitu saat harga bahan kebutuhan hidup masih terjangkau dan tampilnya tokoh bijaksana pengayom rakyat. Dan kemungkinan besar harapan ini tidak ikut berubah bersama dengan kepercayaan politik.
Untuk itu di dalam Kabinet Indonesia Maju harus duduk orang-orang yang tepat pada tempatnya. Mereka harus mampu mengeksekusi program dan peraturan sambil terus berkomunikasi bersama lapisan masyarakat manapun, karena harapan kepada pemimpin, yang mengerti "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", masih sangat tinggi.
Dengan begitu istilah berkomunikasi harus dikembalikan pada makna aslinya yaitu bekerja atau bergerak dalam kebersamaan.
Dan, dalam suasana kedekatan seperti ini kecanggungan akibat sekat tatanan sosial semakin tidak dirasakan, sehingga setiap anggota masyarakat merasa setara derajatnya.
Komunikasi seperti ini, selain mampu menularkan semangat, dapat memberikan orang kesempatan untuk menemukan kesadaran agar percaya pada kemampuannya sendiri. Setiap orang akan lebih memilih percaya diri untuk segera sejajar bersama yang lain, daripada cuma menghabiskan waktu untuk mengagumi tokoh dengan jargon 'memihak pada kepentingan rakyat'.
Kembali ke Kabinet Indonesia Maju. Mari asumsikan, bahwa kabinet sudah diisi oleh orang-orang pilihan. Bahkan kali ini orang-orang non-pendukung di Pemilu Presiden 2019 ikut dirangkul.
Namun tetap perlu diingat, bahwa di luar dinasnya mereka juga punya peranan berbeda-beda di masyarakatnya masing-masing.
Contohnya, seorang pejabat bisa sekaligus juga suami atau istri, ayah atau ibu, kakak atau adik, atau anggota partai politik.
[...]. Lalu siapa kira-kira kandidat untuk 'dicopot di tengah jalan'? Sementara ini masih sulit untuk diprediksi.
Tidak aneh kalau peranan-peranan ini mempengaruhi pengambilan keputusan, karena manusia mahluk sosial yang dalam kesehariannya biasa keluar-masuk bermacam-macam sistem masyarakat. Yang harus sedapat mungkin dihindari adalah keputusan yang akhirnya tunduk dan terpengaruh oleh polarisasi ke pihak di luar kabinet.
Mereka ditunjuk untuk berkerja melayani masyarakat seluruh negeri lewat pemerintah. Bila keputusan tunduk pada kepentingan pihak di luar kabinet, maka pemerintah akan menerima dua pukulan berdampak ke masyarakat lebih luas.
Pertama, kehadiran pemerintah cepat atau lambat akan dipersepsikan pilih kasih, hanya menyentuh kelompok tertentu, bukan malah mendahulukan mereka yang saat ini butuh diangkat.
Kedua, turunnya kepercayaan terhadap seluruh pemerintahan. Yang tadinya percaya bisa mulai meragukan dan yang tadinya mulai sedikit percaya dan sudah menaruh harapan, bisa kembali tidak percaya.
Di luar sudah menunggu kelompok-kelompok yang tidak pro Pancasila. Mereka akan kembali dengan buaian betapa damai dan sentosanya masa lampau, dengan tujuan memenangkan sebanyak mungkin hati bangsa ini.
Satu fakta yang perlu diperhatikan, bahwa kebanyakan dari kelompok ini sangat piawai berkomunikasi, sehingga terdengar lebih nyata dan lebih masuk akal.
Sampai di sini dapat dilihat, betapa sulitnya sebuah kabinet menyatukan perbedaan kepentingan. Lalu siapa kira-kira kandidat untuk 'dicopot di tengah jalan'? Sementara ini masih sulit untuk diprediksi.
Yang jelas setiap anggota kabinet sekarang harus hadir sedekat mungkin di seluruh lapisan masyarakat. Mereka harus mampu menanggapi keluhan "harga melambung tinggi", dengan jalan yang lebih membangun daripada menurunkan harga. Yaitu mendorong mereka yang tertinggal untuk percaya pada kemampuan sendiri dalam memajukan ekonominya.
Sehingga, pada. akhirnya kemampuan mereka membayar atau membeli sesuai dengan harga di pasar.
Kemajuan Indonesia diharapkan bukan hanya berpangkal dari terbukanya jalan untuk terus bergerak ke depan, tapi juga meninggikan moral dari mereka yang tertinggal di belakang. Seperti cita-cita memeratakan keadilan sosial ke seluruh rakyat Indonesia, agar akhirnya orang lebih mengerti, bahwa "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H